yuk?

part of the epilogue of the compass of my heart au

Udah 3 tahun sejak Jihoon dilamar sama Seungcheol. Tapi siapa yang ngitung? Yang jelas bukan Jihoon.

Oke, bohong. Hanya Jihoon yang ngitung.

Bukannya Jihoon nggak ngerti. Dia cuma naif. Dia pikir setelah Seungcheol ngelamar dia, perjalanan menuju pelaminan bakal lancar jaya macem jalan tol. Tapi layaknya jalan tol di waktu mudik, ternyata nggak selancar dugaannya.

Mereka kepentok masalah paling dasar: uang. Emang dengan sekedar ke KUA aja hubungan Jihoon dan Seungcheol bisa langsung berubah status, tapi mereka berdua yang mau pernikahan mereka dirayain sama keluarga dan sahabat-sahabat mereka. Dan pesta pernikahan itu mahal, terutama untuk sepasang psikolog baru yang pendapatannya pas-pasan.

Jihoon dan Seungcheol harus hidup setahun jadi psikolog praktik hanya di satu biro tanpa kerjaan lain untuk paham betapa susahnya dapet uang sebagai psikolog. Akhirnya mereka berdua kerja di tempat-tempat lain sambil sesekali ngambil kerjaan freelance demi nambah uang untuk tabungan nikahan mereka. Emang mereka juga dapet uang dari orang tua masing-masing – termasuk ayahnya Seungcheol yang bilang kalau ada uang di rekening mantan istrinya untuk nikahan Seungcheol dari sisa uang pendidikan Seungcheol (yang tadinya beliau harap masuk kedokteran, jadi jumlahnya cukup besar) yang beliau siapin dari sebelum Seungcheol masuk SMA – tapi ternyata belum sampe target mereka.

Jihoon rasanya kayak ditampar waktu dia nerima undangan pernikahan dua sahabatnya yang usia pertunangannya baru 6 bulan. Pemikiran pertama yang muncul di kepalanya adalah, “Hidup emang nggak adil.”

Untungnya Jihoon bisa segera ngusir pemikiran itu. Ini dua orang sahabatnya yang mau nikah. Emang kebetulan mereka secara finansial lebih beruntung daripada Jihoon dan Seungcheol. Tapi nggak bisa dipungkiri ada bagian dari diri Jihoon yang ngerasa situasi ini nggak adil. Tapi ya, mau gimana lagi. Jihoon nggak bisa menyulap uang untuk turun dari langit.

Jihoon sendiri sebetulnya nggak paham kenapa dia ngebet banget mau nikah. Nggak ada yang ngeburu-buru mereka. Hubungan Jihoon dan Seungcheol juga masih tetep stabil dan harmonis tanpa ancaman dari pihak manapun selama 3 tahun mereka bertunangan. Mungkin dia udah capek nunggu sampe 3 tahun. Atau ada sisi dari dirinya yang udah nggak sabar untuk tinggal bareng Seungcheol dan mengenal Seungcheol lebih jauh; bukan hanya sebagai pacar, tapi sebagai suami.

Ngomongin soal Seungcheol, Jihoon masih penasaran kenapa calon suaminya itu tiba-tiba laporan ke Jihoon bahwa dia mau ke rumahnya. Padahal Seungcheol adalah tamu yang paling sering dateng tanpa diundang. Apalagi akhir-akhir ini Seungcheol sering banget lembur. Sekalinya nggak lembur, dia lapor ke Jihoon kalau dia mau ke rumah? Pasti ada sesuatu.

Seungcheol nyampe rumah Jihoon waktu mamanya Jihoon selesai masak makan malam. Mamanya Jihoon udah biasa masak agak banyak sejak Jihoon dan Seungcheol tunangan karena katanya, “Siapa tahu calon mantu Mama mau dateng.” Kalaupun Seungcheol nggak dateng, makanan itu nggak pernah mubazir karena pasti diabisin sama Jihoon di malam yang sama atau dijadiin bekal makan siang waktu Jihoon kerja.

Makan malam hari itu nggak jauh berbeda dari makan malam setiap kali ada Seungcheol. Mamanya Jihoon nanya Seungcheol soal kerjaannya atau kabar ibunya, dan papanya Jihoon bakal cerita soal peternakan lovebird-nya yang masih berjalan lancar. Setelah makan, Seungcheol dan Jihoon memaksa mamanya Jihoon untuk istirahat dan mereka bakal cuci piring.

Yang berbeda adalah setelah mereka selesai cuci piring. Biasanya kalau Seungcheol dan Jihoon lagi nggak ada kerjaan, mereka bakal bergabung sama mama dan papanya Jihoon di depan TV. Kalau lagi ada kerjaan (atau mereka lagi kangen), Seungcheol dan Jihoon bakal masuk ke kamar Jihoon.

“Jadi mau ngomong apa, Kang?” todong Jihoon setelah mereka duduk di sofa depan TV. Papanya Jihoon langsung mematikan TV untuk fokus sama anak dan calon menantunya.

Seungcheol senyum, terus dia duduk di samping Jihoon, menghadap orang tua Jihoon di sofa seberang. Dia narik nafas panjang.

“Ma, Pa…” mata Jihoon dan orang tuanya membesar waktu Seungcheol menggunakan nama panggilan itu. Seungcheol selama ini selalu bilang kalau dia masih kurang terbiasa untuk manggil orang tua Jihoon dengan panggilan itu, “…Seungcheol mau nikahin Jihoon boleh?”

Jihoon mengalihkan pandangannya ke arah orang tuanya. Mamanya udah menitikkan air mata. Bahkan mata papanya berkaca-kaca. Jihoon kembali ngelihat ke arah Seungcheol, dan dia pukul bahu Seungcheol sambil memandangnya setengah kesel, setengah ketawa.

“Katanya nungguin uangnya?”

Seungcheol nyengir, “Aku kemaren itung-itungan sama Aa, Teteh, sama Ibu… waktu kami ngumpulin list vendor yang kita mau, emang nggak semuanya bisa ke-cover… tapi aku lupa kita punya banyak temen yang punya skill yang bisa kita pake. Kemaren aku nego harga sama Wonwoo buat bantuin dokumentasi plus pre-wed, terus sama Seungkwan buat ngebantu MC. Mereka nyanggupin buat dibayar hampir 75% lebih murah daripada vendor yang udah kita keceng, dan aku yakin kualitasnya nggak akan kalah bagus.”

Mulut Jihoon menganga, lalu sekali lagi dia pukul Seungcheol.

“Aduh!”

“Jihoon, calon suaminya jangan dipukul, ih,” goda mamanya Jihoon.

“Kamu tuh, Kang…” Jihoon mengusap mukanya kesal, “Kalau mau ngurusin kayak gini tuh ngobrol dong! Kan yang nikah kita berdua, bukan kamu doang! Tahu gitu kan aku bisa bantuin cari alternatif vendor juga!” Jihoon terus menghela nafas dengan kasar, “Kebiasaan banget sih ngurusin semuanya sendirian… kita tuh mau nikah, Kang. Susah seneng dihadapin berdua. Aku tahu kamu cuma pengen bikin aku bahagia… tapi kan aku juga jadi nggak enak…”

Senyum Seungcheol mengecil, dan dia elus punggung tangan Jihoon, “Maaf ya, Ji… aku kemaren beneran cuma iseng doang ngitung-ngitung, terus Teteh ikutan, otomatis Aa ikutan, terus Ibu juga ngasih masukan, tahu-tahu udah keluar angkanya. Sumpah, bukan maksud aku nggak ngelibatin kamu.”

“Iya, Kang, aku tahu. Kamu tuh sekalinya udah fokus sama satu hal nggak bisa kamu tinggalin… tapi pokoknya waktu kita nego sama vendor aku ikut.”

“Jihoon jago nawar loh,” timpal papanya Jihoon, “makanya kalau Papa beli pakan burung pasti Papa bawa Jihoon.”

“Emang bisa ditawar ya?”

“Kalau diusahain, semuanya bisa ditawar, Kang.”

Seungcheol ketawa, lalu tawanya mulai mereda, meninggalkan senyuman manis yang dia arahkan ke calon mertuanya, “Jadi boleh nggak Seungcheol nikahin Jihoon, Ma, Pa?”

“Mama sih udah nungguin, jadi Mama sih oke!”

“Jihoon gimana? Papa sama Mama udah oke,” tanya papanya Jihoon.

Seungcheol melihat ke arah Jihoon dengan senyum manisnya, “Ji…” dia pegang kedua tangan Jihoon, “Kita nikah yuk?”

Jihoon hanya bisa ketawa, tapi matanya juga udah mulai berkaca-kaca, “Hayu, Kang. Kita nikah.”