trust me

part of the compass of my heart au

*

“Ma, Jihoon pulang!” teriak Jihoon dari pintu garasi rumahnya.

“Sebentar!” Jihoon denger suara mamanya dari arah dapur. Nggak lama kemudian, mamanya jalan ke arah dia sambil senyum, “Selamat datang, Nak. Kok Mama denger mesin mobilnya ada dua? Sama Seungcheol?”

Jihoon menghela nafas kayak yang kesel, sebelum nyengir untuk ngasih sinyal ke mamanya kalau dia cuma bercanda, “Biasa deh, yang dicariin Akang dulu. Beneran lebih sayang Akang ya?”

“Oh, sayang, dong! Kayak punya anak satu lagi,” ujar mamanya sambil ketawa dan ngelus rambut anaknya. Jihoon ketawa kecil, terus geleng-geleng kepala waktu dia lihat muka ibunya jadi makin ceria waktu beliau lihat ke arah orang di belakang Jihoon. Seungcheol pasti baru beres parkir mobilnya.

“Sore, Tante. Sehat?” tanya Seungcheol sambil senyum.

“Sore, Nak! Mama sehat, kamu apa kabar?”

“Baik, Tante.”

“Tumben dateng? Biasanya kalau bawa mobil masing-masing, Nak Seungcheol nggak pernah ke rumah,” tanya mama Jihoon sambil micingin matanya ke Jihoon, kayak yang ngambek tapi Jihoon tahu mamanya cuma bercanda, jadi dia hanya muter mata.

“Mau ngerjain laporan bareng, Tante. Barusan dapet tugas dari akademik, kebetulan Seungcheol sama Jihoon pembimbingnya sama soalnya,” ujar Seungcheol ngejelasin.

“Laporan apa?”

“Hasil psikotes anak S-1, Ma,” lanjut Jihoon. Dia terus ngendus-ngendus, “Kok wanginya enak?”

Mama Jihoon terus senyum, “Mama masak semur daging sama goreng emping. Ganti baju dulu sana. Kalau makanannya udah jadi nanti Mama panggil.”

“Om ke mana, Tante? Lagi istirahat?”

Mama Jihoon menggeleng, “Di belakang, lagi ngurusin burung. Nanti Mama bilangin kalian udah pulang.”

Jihoon muter matanya, “Lah, bukannya kata Mama panas badannya? Jihoon udah beliin obat loh.”

“Ya buat Papa mah kan nomer satu Mama, kamu, dan lovebird,” Seungcheol dan Jihoon ketawa, “Lagian nggak apa-apa, kok. Panasnya nggak terlalu tinggi. Obatnya siniin, Nak. Nanti Mama kasih ke Papa. Makasih ya.”

“Sama-sama, Ma,” Jihoon bilang, “Yuk, Kang.”

Mama Jihoon kembali ke dapur dan Jihoon jalan ke arah kamarnya, diikuti Seungcheol. Jihoon tahu kalau dia udah nggak usah nunjukin arah di dalem rumahnya ke Seungcheol; pacarnya udah sering banget ke rumahnya, dan nggak cuma sekali-dua kali Seungcheol nginep di rumahnya. Kalau sampe masih nggak hafal keterlaluan namanya.

Jujur, Jihoon agak gugup. Cepat atau lambat, Jihoon harus ngasih tahu Seungcheol siapa Chanyeol sebenernya. Bukan karena dia mau bikin Seungcheol benci sama Chanyeol, tapi karena pada kenyataannya, mantan pacar yang dia pernah ceritain ke Seungcheol itu Chanyeol, dan ada banyak urusan mereka yang belum selesai. Jihoon perlu bicara sama Chanyeol, dan Jihoon perlu Seungcheol untuk ngerti kenapa, supaya Seungcheol nggak marah (berlebihan, soalnya pasti bakal marah, sih).

Setelah di kamar, Jihoon terus nyari kesempatan buat ngobrol, tapi selalu nggak ketemu. Setelah dia ganti baju, mereka berdua sibuk ngerjain laporan. Jihoon nggak enak tiba-tiba nanya di sela-sela ngerjain laporan, terutama kalau lihat sefokus apa Seungcheol ngerjainnya. Mereka mutusin untuk istirahat waktu mamanya manggil mereka untuk makan. Jihoon juga tentu nggak bisa nanya waktu makan. Nggak cuma ngilangin selera, tapi orang tua Jihoon juga ada di depan mereka, di meja makan yang sama. Belum lagi Seungcheol juga asyik diajak ngobrol sama papanya.

Akhirnya, setelah makan dan cuci piring, sebelum mereka lanjut ngerjain, Jihoon ngumpulin semua nyalinya.

“Kang, sebelum lanjut boleh ngobrol dulu bentar nggak?”

Seungcheol yang tadinya senyum lebar, senyumnya jadi lebih lembut. Mungkin dia nyadar kalau ada tanda-tanda kegugupan di diri Jihoon. Mungkin dia tahu kalau apa yang bakal mereka obrolin itu serius.

“Boleh, ada apa?”

Jihoon nutup mata dan ngeluarin semua nafas yang ada di paru-parunya lewat mulut. Terus dia tarik nafas dari hidung 4 hitungan, dia tahan 7 hitungan, dan dia keluarin lagi lewat mulut 8 hitungan. Setelah dia buka mata, dia lihat raut muka Seungcheol yang kelihatan agak khawatir. Memang kalau Jihoon pakai teknik relaksasi itu, Seungcheol selalu tahu kalau Jihoon lagi cemas.

“Anak 2019 yang hubungin kamu... namanya siapa?”

“Chanyeol... kenapa emangnya?”

“Pernah ketemu orangnya nggak? Kayak gimana orangnya?”

“Pernah, sekali, pas banget sehari sebelum ospek. Jangkung (Tinggi) banget dia, tapi masih lebih jangkung Mingyu dikit sih. Ganteng, suaranya berat. Terus... matanya gede, kupingnya juga agak mencuat ke luar dikit.”

Jihoon ngulang teknik relaksasinya sekali lagi setelah dia sadar, seluruh badannya tegang setelah ngedenger penjelasan Seungcheol. Ternyata bener.

“Ji...? Kenapa, sayang?” Seungcheol tanya sambil megang kedua tangan Jihoon setelah Jihoon buka matanya lagi.

“Kang, aku mau kamu dengerin penjelasan aku, dan aku minta kamu nunda marah kamu sampe aku selesai. Bisa nggak?”

“Bisa aku usahain, sih, tapi emang aku pasti marah?”

“Kayaknya sih... soalnya... Kang Chanyeol itu mantan aku, Kang. Yang waktu S-1,” Jihoon diem dan dia coba baca raut wajah Seungcheol. Pacarnya kelihatan kaget, terus bibirnya mulai turun tapi matanya jadi lebih tegas, dan pegangan tangannya jadi makin kenceng. Jihoon tahu Seungcheol marah.

“...oh?”

Jujur, Jihoon agak takut. Seungcheol lebih ke tipe yang gampang pundung (merajuk) daripada marah. Pundung-nya juga diem, dan cenderung cepet reda. Makanya waktu dia pertama kali lihat Seungcheol marah, bener-bener marah, dia sampe sembunyi di balik badan Seokmin, karena emang serem banget. Balesan singkat dari Seungcheol juga bikin Jihoon makin gugup.

“Aku nggak tahu dia lanjutin kuliahnya, apalagi di universitas yang sama kayak kita. Jujur, setelah Soonyoung ngelarang dia buat jenguk aku, Soonyoung juga selalu ngusir dia kalau dia udah deket, jadi kita nggak pernah bisa ngobrol. Bahkan technically, we never broke up, Kang, karena kata putus nggak pernah keluar dari mulut aku atau pun mulut dia. Bukan berarti aku mau balikan sama dia!” Jihoon segera mengklarifikasi waktu dia ngerasa pegangan tangan Seungcheol jadi kenceng banget, “Bukan gitu, tapi karena kita nggak pernah ngobrol... banyak hal yang nggak selesai, Kang. Waktu kamu nyebut nama dia di grup, aku kaget banget, Kang, sampe gemeteran. Aku nggak bisa dan nggak mau ngehindarin dia selamanya, apalagi kita satu kampus. Yang ada aku bakal capek, Kang.”

“...jadi mau kamu gimana?”

“Aku mau ngobrol sama dia. Beresin semua urusan, supaya minimal aku nggak perlu ngerasa cemas terus kalau ada dia atau at the mere mention of him. Dan aku juga pengen tahu... kenapa dia kayak gitu waktu itu.”

Jihoon nggak perlu ngejelasin kalimatnya. Nyebutin detail soal kejadian itu masih kerasa sakit buat dia. Tapi dia tahu Seungcheol ngerti.

“...aku nggak tahu dia mantan kamu.”

“Ya, gimana kamu mau tahu, Kang? Aku nggak pernah nyebut nama dia. Emangnya kalau kamu tahu sebelum kamu dihubungin sama dia, kamu bakal ngapain?”

“...aku tolak. Suruh hubungin Joshua aja.”

“Kamu nggak se-petty itu, Kang. Kamu salah satu orang paling bertanggung jawab yang aku kenal; mana mungkin kamu mangkir dari tugas cuma gara-gara kamu nggak suka lawan kerjanya?”

Seungcheol menghela nafasnya berat. Dia tarik tangan Jihoon pelan, terus dia benamin wajahnya ke bahu Jihoon dan dia peluk Jihoon.

“Tadi... kamu manggil dia apa?”

“Hah?” dahi Jihoon mengernyit. Kok pertanyaannya aneh? “...Kang Chanyeol...?”

Seungcheol lagi-lagi menghela nafasnya berat.

“Ji... cemen nggak sih kalau aku nggak suka kamu manggil dia ‘Akang’?” tanya Seungcheol, mukanya masih disembunyiin di bahu Jihoon, jadi suaranya agak ketutupan. Tapi Jihoon tahu Seungcheol malu, soalnya mereka berdua tahu kalau pernyataan Seungcheol agak konyol. Tapi Jihoon paham, soalnya dia juga tahu sebenci apa Seungcheol sama sosok mantan pacarnya yang ninggalin dia buat jadi korban keroyokan.

“Kang,” panggil Jihoon sambil ngelus rambut Seungcheol, “Aku manggil dia gitu soalnya di almamaterku kultur Sundanya kenceng banget. Senior dipanggilnya pasti ‘Akang-Teteh’, bukan ‘Kakak’ kayak di kita. Itu aja alasannya: sopan santun,” tukas Jihoon, “Kalau kamu nggak suka aku panggil dia ‘Akang’, aku bisa berhenti.”

“Ya, aku nggak suka... tapi nggak berarti kamu harus berhenti juga,” ujar Seungcheol yang akhirnya narik mukanya dari tempat persembunyiannya buat ngeliat ke mata Jihoon, “Aku nggak mau ngubah kamu cuma buat mengakomodasi aku, Ji. Meskipun masalahnya hanya sekecil nama panggilan. Kalau kamu emang mau berhenti manggil dia ‘Akang’, aku mau kamu ngelakuin itu bukan buat bikin aku seneng, tapi karena kamu emang udah nggak mau manggil dia gitu. Maaf ya, pertanyaannya aneh.”

Jihoon ngegeleng, “Nggak usah minta maaf, Kang; aku ngerti kok. Yang perlu kamu tahu, bedanya antara panggilan aku ke kamu sama ke dia, aku manggil dia gitu hanya karena dia lebih tua dari aku dan aku harus ngehormatin dia. Kalau kamu... aku panggil kamu ‘Akang’ soalnya ‘Kakak’ udah nggak cocok. Kalau ‘Akang’ ke kamu tuh...” Jihoon kelihatan agak ragu dan pipinya mulai memerah sebelum dia ngelanjutin kalimatnya, “...nggak cuma pake rasa hormat, tapi pake rasa sayang juga.”

Jihoon mendengar suara tarikan nafas singkat Seungcheol, lalu bibirnya dicium Seungcheol. Jihoon agak kaget, tapi dia bales ciumannya. Waktu bibir bawahnya digigit pelan, Jihoon tahu Seungcheol masih marah. Tapi dia juga tahu, Seungcheol nggak marah ke Jihoon, karena segera setelah bibirnya digigit, lidah Seungcheol ngelus bibirnya, kayak yang minta maaf. Setelah Seungcheol misahin bibir mereka, Seungcheol nggak ngelepas Jihoon dari pelukannya dan dahi mereka masih nempel, “Aku juga sayang banget sama kamu, Ji.”

Jihoon senyum, “Iya, tahu,” dia terus mundur sedikit supaya muka mereka lebih berjarak, tapi dia nggak ngelepasin dirinya dari pelukan Seungcheol, “Aku minta kamu ngerti, Kang. Ada hal-hal yang perlu aku beresin sama Kang Chanyeol, jadi mau nggak mau aku harus ketemu dan ngobrol sama dia eventually. Apalagi dia anak TBK. Kan nggak mungkin aku nggak ketemu sama klien cuma buat ngehindarin dia doang.”

Seungcheol menghela nafas, tapi akhirnya dia ngangguk, “Oke. Tapi kamu jangan maksain diri. Kalau emang kamu nggak nyaman, nggak usah lanjut.”

Jihoon ngangguk, terus dia benamin mukanya ke dada Seungcheol. Dia tempel pelipisnya ke dada Seungcheol supaya omongan dia jelas kedengeran dan suara detak jantung Seungcheol bisa dia denger, “Just trust me.”

I do. And you can trust me, too. Kalau kamu butuh aku, panggil aja, aku bisa terbang, di manapun, kapanpun.”

“Kalau bisa terbang, kenapa masih bawa mobil?”

“Ya, kamu ngerti lah maksud aku.”

Jihoon ketawa sambil ngangguk, “Iya, ngerti, Kang. Makasih ya.”