telepon
part of the compass of my heart au
Setelah Jihoon selesai makan malam, ponselnya berbunyi, tepat waktu dia masuk kamar. Tanpa ngecek caller ID-nya sekalipun, ringtone yang bergema di kamarnya adalah lagu buatannya sendiri yang khusus ia pasang untuk Seungcheol. Makanya, tanpa pake pikir panjang, Jihoon langsung terima teleponnya.
“Halo.”
“Malem, Ji.”
Entah sadar, entah nggak, tapi di mulut Jihoon langsung tersungging sebuah senyuman kecil, “Malem, Kang. Kamu baru pulang?”
“Nggak, pulangnya mah udah dari sekitar sejam yang lalu, tapi pas nyampe rumah langsung disuruh mandi. Kamu udah makan?”
“Udah. Kamu?”
“Udah. Makan apa kamu?”
“Mama masak semur. Kamu makan apa?”
“Tadi teteh aku masak beef teriyaki. Kangen banget sama masakan mama kamu, deh.”
“Ke rumah aja lah. Papa juga suka nanyain kamu kapan ke sini lagi.”
Seungcheol ketawa, “Iya, tahu, kadang-kadang papa kamu suka nge-chat soalnya.”
“Sumpah? Ampun ih, si Papa…”
“Nggak apa-apa, Ji. Aku nggak keberatan kok.”
Mereka terdiam sejenak.
“Gimana tadi bimbingannya?”
“Ya gitu deh… alat ukurnya masih ada yang bahasanya takut susah dipahamin sama orang awam, jadi masih harus aku benerin. Minor sih, lusa juga aku bakal bimbingan lagi. Mudah-mudahan langsung bisa ambil data.”
“Syukurlah. Mudah-mudahan lancar ya, biar cepet kelar.”
“Aamiin.”
“Kamu target UNT kapan?”
“Bulan depan. Si Wonwoo, Jun, sama Nyong juga katanya mau ngejar bulan depan, siapa tahu bisa bareng,” Jihoon menghela nafas waktu mereka kembali terdiam, “Ibu kamu nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa. Katanya sih kurang tidur sama makannya nggak bener. Dokternya sih bilang butuh istirahat aja yang banyak.”
“Nggak jauh beda sama anaknya ternyata ya.”
Seungcheol ketawa, “Jahat ih kamu. Bilangin sama Ibu loh.”
“Idih, maennya ngadu,” Jihoon mulai tiduran di kasurnya.
“Ya, tapi nggak salah juga sih…”
“Jadi yang mau diomongin tuh apa?” tanya Jihoon to-the-point. Sejak Seungcheol bilang ada hal yang mau dia omongin, Jihoon udah deg-degan. Sebenernya dia juga nggak tahu apa yang bakal diobrolin, tapi Seungcheol sendiri bilang kalau topiknya cukup berat, dan Jihoon tahu topiknya pasti cukup serius kalau pacarnya sampe ngotot pengen ngobrol langsung.
Seungcheol menghela nafas cukup panjang, “…orang tua aku mau cerai,” Seungcheol berhenti sejenak, “Terus rumah aku juga mau disita, soalnya rumah itu termasuk ke dalem aset ayah aku. Katanya sih minggu depan, tapi aku juga nggak begitu ngerti prosesnya gimana.”
Dahi Jihoon mengernyit, “Jadi kamu tinggal di mana dong? Ibu kamu gimana?”
“Aku sekarang tinggal bareng Aa. Kalau Ibu… jadi salah satu alesan kenapa Ibu sampe tumbang itu gara-gara beliau sibuk banget ngurusin perkara rumah sakit, perceraian, sama nyari tempat tinggal; buat Ibu sama buat aku.”
Jihoon ngangguk-ngangguk, “Kebayang sih, capeknya kayak apa… untung sidang ayah kamu udah beres, jadi satu beban udah keangkat lah ya…”
“Iya… makanya aku pengen cepet-cepet ujian tesis… biar aku bisa cari kerjaan. Kalau udah ujian tesis kan aku bisa minta SKL sebelum wisuda. Terus kebetulan dua bulan lagi kan ada sumpah profesi, jadi aku bisa dapet surat izin praktik. Kalau kerjaan aku udah jelas, aku bisa nentuin sendiri mau tinggal di mana, dan Ibu juga udah nggak perlu mikirin keuangan aku. Mungkin untuk tempat tinggal, aku masih bakal minjem uang sama Ibu sebelum aku dapet gaji pertama, tapi buat seterusnya sih aku pengen bisa bayar sendiri.”
“It sounds like you’ve thought this through,” Jihoon tersenyum.
“Ya, itu idealnya sih… pertama ya aku harus lulus ujian tesis dulu.”
“Tapi kamu revisinya nggak terlalu banyak, kan? Tadi juga kamu fine-fine aja ngejawab pertanyaan dari penguji.”
“Untungnya sih iya… mumpung revisiannya cuma sedikit, aku juga mau sambil bantuin Ibu. Kan Ibu disuruh istirahat sama dokter tiga hari. Kalau selama tiga hari itu aku bisa beresin revisian, waktu Ibu keluar dari rumah sakit aku bisa bantuin Ibu.”
Lagi, dahi Jihoon mengernyit, “Tiga hari banget revisiannya?”
Jihoon bisa mendengar senyuman sombong Seungcheol dari nada suaranya, “Aku bisa ngeberesin dua bab dalam waktu lima hari, Ji. Bukan nggak mungkin aku bisa beresin revisi minor dalam waktu tiga hari, dong.”
“Sombong. Awas kualat. Jangan lupa makan sama tidur, tapi. Percuma kalau waktu ibu kamu keluar rumah sakit, malah kamu yang tumbang gara-gara kecapekan. Emangnya ronda, pake shift-shift-an?”
Seungcheol ketawa, “Iya, sayangku.”
Jihoon muter matanya, “Kalau ada yang bisa aku bantuin kabarin aja. Perbaikan alat ukur aku juga minor, terus abis itu kan harusnya aku langsung ambil data online dua minggu. Selama dua minggu itu aku bakal kosong kayaknya.”
“I’ll keep that in mind.”
“Di-keep in mind tapi nggak dilakuin mah buat apa.”
“Galak amat sih.”
“Abis kalau nggak digalakin nggak nurut. Digalakin aja masih suka nggak nurut.”
“Nggak apa-apa… aku suka digalakin sama kamu, kok.”
“Astaga, bucin.”
“Kalau sama kamu nggak apa-apa… makanya jangan ke mana-mana ya, Ji.”
Jihoon menghela nafas sebagai usaha untuk nurunin kecepatan detak jantungnya yang lagi maraton gara-gara kata-kata pacarnya, “Emangnya aku mau ke mana?” You’ve ruined me for other men… tapi kalau aku bilang gitu, kamu pasti kesenengan, pikir Jihoon. Alih-alih ngomong apa yang ada di pikirannya, Jihoon bilang, “Kamu pasti capek deh, kalau sampe ngomong kayak gitu.”
“Emangnya aku kamu, cuman bilang sayang kalau lagi capek doang?” Jihoon nggak ngemasukin kata-kata itu ke hati, karena dari nada suaranya, dia tahu Seungcheol hanya bercanda. Lagian, Seungcheol ada benernya juga.
“Masih untung aku masih suka bilang sayang. Jadi manusia itu harus banyak bersyukur.”
“Iya sih. I wouldn’t trade you for the world.”
Kenapa sih mulutnya ringan banget ngomong gombal kayak ginian? batin Jihoon, yang jantungnya kembali maraton padahal baru juga disuruh pelan-pelan aja.
“Istirahat sana. Udah malem. Revisiannya mulai besok aja.”
“Tapi…”
“Besok aja,” ujar Jihoon tegas, “Revisinya kan minor. Besok jam 10 ketemu di Creative Hub. Kita revisian bareng aja, mau nggak?”
Seungcheol ketawa, “Mau.”
“Ya udah, sekarang gosok gigi, cuci kaki, terus tidur.”
Lagi, Jihoon denger Seungcheol ketawa, terus menghela nafasnya, “…aku sayang banget sama kamu, Ji. Sumpah.”
Dan lagi, jantung pengkhianat milik Jihoon berlari kencang. Tapi Jihoon nggak protes. Gimana dia bisa protes? Nada suara Seungcheol betul-betul senada dengan kata-katanya. Nggak ada makhluk di dunia ini yang bisa bilang sama Jihoon kalau kata-kata Seungcheol itu hanya gombal semata, karena Jihoon tahu kalau kata-kata itu berisi ketulusan Seungcheol.
“Aku tahu, Kang. Aku juga sayang banget sama kamu. Tidur gih. Besok juga ketemu.”
“Ya udah. Met bobo, Ji.”
“Hm. Sampe ketemu besok, Kang.”
Diam-diam, Jihoon sedikit kecewa karena topik yang dia amini minggu kemarin nggak muncul di pembicaraan mereka. Mungkin lain hari.