sampai ketemu besok
part of the compass of my heart au
*
Setelah pisah sama Jihoon, Seungcheol jalan ke Gedung 3, gedung di mana ruangan dosen pembimbingnya berada. Dia lagi jalan ke arah ruangan Kang Mamat waktu dia nemuin Seungkwan lagi ngelamun di dalem salah satu ruang seminar. Waktu dia sapa, Seungkwan ngebalesnya lebih lemes dari biasanya. Hal ini bikin Seungcheol agak khawatir, jadi dia masuk ke ruang seminar itu.
“Apa kabar, Kwan? Asa (Rasanya) udah lama nggak ketemu ya?”
“Baik, Kak. Iya nih, aku udah lama nggak ke kampus juga, beresin kasus sama ambil data tesis.”
“Kok lemes? Lagi sakit?”
Seungcheol agak kaget waktu Seungkwan ngejawab pertanyaan dia dengan netesin air mata, tapi dia hanya duduk di samping Seungkwan, nepuk-nepuk punggungnya sambil ngedengerin dia cerita soal bimbingannya yang nggak ber-progress, dan dia takut ketinggalan. Situasi ini bikin Seungcheol ngerasa deja vu sama kejadian yang bikin dia jadi deket sama Seungkwan. Agak bittersweet ngingetnya.
“Aduh, Kak, maafin aku malah curcol,” ujar Seungkwan sambil ngapus air matanya, “Aduh... mana nanti ketemu Vernon...”
Seungcheol nyengir sedikit waktu Seungkwan ngomongin Vernon, “Emang kenapa sama Vernon?”
“Dia tuh dukun apa gimana, nggak ngerti, Kak! Kalau aku abis nangis tuh dia pasti tahu! Padahal aku udah cuci muka berapa kali biar mukanya nggak ancur-ancur amat, tapi dia pasti tahu!”
Seungcheol nggak heran. Vernon dan Seungkwan adalah calon pasangan yang udah Seungcheol dukung diam-diam sejak mereka S-1. Meskipun dua-duanya ngaku kalau mereka nggak ada rasa buat satu sama lain, Seungcheol meragukan kata-kata mereka, karena kalau mereka lagi merhatiin satu sama lain, orang buta juga bisa lihat kalau mereka saling sayang. Mereka hanya butuh waktu dan nyali untuk memulai hubungan mereka.
“Ya udah, bebenah dulu sana. Gue tungguin.”
“Emang Kakak nggak harus ke mana-mana?”
“Gue mau bimbingan sama Kang Mamat, sih, tapi santai kok.”
“Lah? Ya udah, bimbingan aja, Kak.”
“Beneran nggak apa-apa lo, Kwan?” tanya Seungcheol, masih khawatir sama keadaan temennya.
“Nggak apa-apa, Kak. Awas telat, nanti Kang Mamat marah lho,” jawab Seungkwan, masih agak lemes setelah nangis.
“Mau gue panggilin orang nggak? Gue nggak mau ninggalin lo kalau lo masih kayak gini,” Seungcheol ngeluarin HPnya sambil scrolling chat-nya.
“Kak Cheol, ih!” rengek Seungkwan, “Aku laporin Kak Jihoon baru tahu rasa lho!”
“Kotor lo mainnya ya.”
“Lagian nanti juga Vernon ke sini. Sumpah, Kak. Aku nggak apa-apa.”
“Nanti ikut kan ke Checo?”
“Iya, Kak, sama Vernon.”
Seungcheol masih ragu buat ninggalin Seungkwan, tapi kalau anaknya keukeuh (bersikeras) kayak gini, dia juga nggak mau maksain, “Ya udah, gue tinggal ya.”
“Makasih ya, Kak.”
Seungcheol senyum sama adik kelasnya itu terus dia ninggalin ruang seminar dan jalan menuju ruangan Kang Mamat yang ada di lorong yang sama. Sebelum nyampe ruangan Kang Mamat, dia tos sama Vernon yang lagi jalan menuju tempat di mana Seungkwan berada, dan dia mulai berharap yang terbaik untuk mereka berdua.
Waktu dia sampe ke ruangan Kang Mamat, ternyata Kang Mamat masih sama mahasiswa yang lain. Waktu Kang Mamat lihat dia, Kang Mamat senyum, “Oh, udah dateng? Sini masuk, Cheol!”
“Siang, Kang,” sapa Seungcheol dengan senyuman sambil masuk ke ruangan Kang Mamat. Mahasiswa yang lagi duduk di depan meja Kang Mamat nengok untuk nunduk sedikit ke arah dia.
Seungcheol hanya merhatiin sekilas, tapi itu cukup buat Seungcheol untuk tahu kalau mahasiswa itu ganteng. Matanya besar, dan yang paling menarik perhatian itu kupingnya yang agak mencuat ke depan, jadi kelihatan agak lebar kalau dilihat dari depan. Seungcheol ngebales anggukan mahasiswa itu sambil senyum.
“Kenalan dulu, Cheol. Ini Park Chanyeol, ketua angkatan KLD 2019. Chanyeol, ini Choi Seungcheol, ketua angkatan KLD 2018.”
Mata Seungcheol membelalak sedikit waktu dia sadar, “Oh, ini yang namanya Chanyeol? Yang kemaren ngehubungin buat ospek di TBK kan, ya?” tanyanya sambil ngulurin tangan buat disalamin.
Chanyeol senyum lebar sambil nerima uluran tangannya dan ngejabat tangan Seungcheol, nggak terlalu kuat, tapi juga nggak terlalu lemes, “Iya, Kak.” Seungcheol agak kaget waktu denger suaranya yang lebih nge-bass daripada penampilannya yang lembut.
“Lah, udah kenal, toh?” Kang Mamat ketawa.
Seungcheol juga ketawa sambil narik balik tangannya, “Iya, Kang, kan diminta ngospek anak 2019 sama Kang Pras. Yang kemaren ngehubungin saya Chanyeol.”
“Kapan ospeknya?”
“Besok, Kang,” jawab Chanyeol.
“Kalau mau tanya-tanya soal kasus, ikutan nonton seminar anak-anak angkatannya Seungcheol aja. Masih banyak yang belum beres seminarnya soalnya.”
Seungcheol ketawa malu, dan Chanyeol juga ikut ketawa sama Kang Mamat, “Kan saya tinggal satu, Kang.”
“Tapi yang lain masih ada kan? Kalau kurang penonton minta ke anak-anak angkatan Chanyeol aja. Kalian juga bakal belajar banyak dari nonton seminar kakak tingkat kalian.”
“Siap, Kang,” Chanyeol ngejawab pake senyum.
“Sip atuh. Ada yang mau ditanyain lagi, Chanyeol?”
“Udah, Kang, makasih,” jawab Chanyeol sambil senyum, “Nanti saya kabarin sama anak-anak yang lain.”
“Sip, oke.”
“Duluan, Kak,” ujar Chanyeol sambil senyum. Waktu dia berdiri, Seungcheol baru nyadar kalau Chanyeol badannya tinggi banget. Meskipun masih lebih tinggi Mingyu, tapi dia lebih tinggi dari Seungcheol.
“Sampe ketemu besok ya,” balas Seungcheol sebelum duduk di kursi yang sebelumnya diisi Chanyeol sambil ngeluarin berkas kasusnya untuk mulai bimbingan.