sakit hati

part of the compass of my heart au

Sejak ujian HIMPSI tempo hari, sebetulnya Wonwoo udah cukup khawatir sama keadaan Soonyoung. Dua hari sebelum ujian, Wonwoo dan rekan-rekan PDD yang bakal ujian bareng sebetulnya sempet ngumpul di kosannya Jun untuk belajar bareng, dan di hari itu, Soonyoung kelihatan baik-baik aja. Wonwoo dan Soonyoung udah janjian untuk nggak ganggu satu sama lain H-1 ujian, karena mereka berdua tahu kalau mereka nggak akan bisa menenangkan satu sama lain secara efektif, karena mereka berdua sama-sama tegang. Lagian, Wonwoo selalu lebih suka menyendiri kalau dia lagi tegang, dan Soonyoung ngertiin hal itu.

Setelah Soonyoung selesai ujian, Wonwoo nggak sempet ngomong apa-apa sama Soonyoung karena dia langsung harus masuk untuk ujiannya sendiri. Setelah mereka berdua dinyatakan lulus dengan perbaikan, Wonwoo udah ngerasa ada yang aneh dari Soonyoung. Setelah apa yang mereka laluin, Wonwoo pikir Soonyoung bakal lebih kelihatan bahagia. Soonyoung emang kelihatan lega, tapi nggak kelihatan terlalu bahagia; bahkan hal-hal yang biasanya bikin dia sumringah (seperti daging gratis dan kopi) nggak bikin dia kelihatan bahagia.

Terus chat dari Jihoon nyampe ke HP-nya sehari setelah dia ngirim revisi laporan kasusnya. Wonwoo heran. Bahkan orang sesakti Seungcheol, yang bisa bikin semua orang nyaman dan mau cerita sama dia kayak sama sahabat terdekat aja nggak bisa bikin Soonyoung terbuka. Artinya dia yang harus turun tangan. Agenda rebahan ditunda dulu; saat ini, pacarnya lebih penting.

Makanya sekitar 20 menit setelah dia nerima chat dari Jihoon, Wonwoo udah sampe di Cibiru, dan waktu lagi ngisi bensin, dia sempetin untuk nge-chat Soonyoung bahwa dia lagi di jalan menuju rumah kosnya. Wonwoo emang harus nunggu hampir sejam setelah dia parkir di depan rumah kos Soonyoung di Cikuda sampai pacarnya itu ngebales chat dia, tapi setelah dia bilang kalau dia ada di bawah, nggak sampe 5 menit kemudian, Soonyoung lari ke mobilnya.

“Sayang, ih, kamu teh kalau mau nyamperin bilangnya jangan pas udah di jalan atuh, kan kaget,” rengek Soonyoung, yang bikin Wonwoo hanya ketawa dan nyubit pipi gembil Soonyoung.

“Namanya juga surprise,” Wonwoo beralasan, “Tumben tidur siang? Kemarin tidur jam berapa?”

“Baru tidur jam 4 tadi pagi aku, Yang… ngerjain revisian.”

“Udah beres belum? Aku ganggu nggak?”

Soonyoung terdiam sejenak sebelum dia geleng-geleng, “Jangan pulang…”

Wonwoo ketawa, “Ya udah atuh. Aku temenin revisiannya ya.”

“Nggak boleh kelon dulu?”

“Jangan atuh,” ujar Wonwoo sambil mengelus rambut Soonyoung yang masih agak berantakan, “Nanti kelonnya kalau udah beres revisiannya. Aku bantuin.”

Soonyoung manyun, tapi akhirnya mengangguk dan menarik tangan Wonwoo supaya pacarnya keluar dari mobil.

***

Wonwoo betul-betul memegang kata-katanya. Sebelum Soonyoung selesai ngerjain revisiannya, Wonwoo hanya nonton Soonyoung yang lagi berkutat sama laptopnya sambil main Sudoku, sesekali menjawab pertanyaan Soonyoung. Tapi setelah Soonyoung akhirnya mengirim revisiannya (yang ternyata lebih sedikit daripada Wonwoo) ke petugas administrasi fakultas yang bakal meneruskan revisiannya ke Bu Susi dan penguji HIMPSI-nya, Soonyoung terjun bebas ke pelukan Wonwoo, yang mencium kening Soonyoung sebagai hadiah ekstra.

“Tadi kamu ke kampus?” tanya Wonwoo.

“Kok tahu?”

“Jihoon bilang.”

“Oh…” Soonyoung menghela nafas pendek, “Pantesan kamu ke sini. Dia ngaduin aku ya?”

“Soonyoung,” panggil Wonwoo lembut, “Ada apa? Cerita dong sama aku.”

Wonwoo nunggu Soonyoung yang masih diem sambil mainin tali di hoodie yang lagi dipake Wonwoo.

“Tadi aku ke kampus nyari referensi teori…” Soonyoung memulai, “Soalnya kemarin disaranin sama Bu Susi.”

“Oh, kemarin kamu udah bimbingan lagi? Cepet juga.”

“Ditodong sama beliau soalnya,” ujar Soonyoung, sebelum dia menghela nafas panjang yang terdengar berat, “Terus Bu Susi pas lagi bimbingan bilang… ‘kalau saya yang nguji kamu, kamu nggak akan saya lulusin’.”

Mata Wonwoo membelalak kaget. Soonyoung hanya ketawa, tapi tawanya sama sekali nggak kedengeran seneng, terutama karena tawanya kedengeran basah karena air mata.

“Waktu kemaren aku lulus tuh sebenernya aku kaget banget loh, Won. Aku waktu ditanya nggak bisa jawab, waktu disuruh ngejelasin selalu diminta ngulang penjelasannya karena nggak jelas… makanya aku udah siap-siap aja kalau nggak lulus. Eh, tapi ternyata lulus. Terus aku pikir yang bikin aku lulus itu karena Bu Susi yang nyelametin aku… tapi ternyata aku diselametin sama pengujinya, Won. Pembimbing aku bahkan bilang dia nggak akan ngelulusin aku.”

“Bu Susi bilang nggak kenapa beliau bilang gitu?” tanya Wonwoo pelan-pelan.

“Katanya cara aku nanya anamnesa salah…” omongan Soonyoung terpotong oleh isakannya, “Waktu pengujinya nanyain soal masalah kliennya yang aku nggak tahu detailnya, aku tuh bilangnya ‘kliennya nggak cerita soal hal itu’, jadi kesannya kayak aku ngarep kliennya bakal cerita segalanya sama aku tanpa digali…” Soonyoung kembali terisak, “Aku bahkan nggak inget ngejawab kayak gitu saking tegangnya. Tapi mungkin cara jawab aku salah, dan mungkin aku emang kurang ngegali waktu anamnesa, jadi aku paham kenapa beliau ngomong gitu. Tapi ya tetep aja… kaget… aku pikir beliau bakal ngebantuin aku.”

Wonwoo nggak berkomentar. Dia hanya diam sambil sesekali menepuk-nepuk punggung Soonyoung, menunggu sampai Soonyoung selesai menangis.

“Kamu pasti sakit hati ya…” ujar Wonwoo setelah isakan Soonyoung mulai mereda. Soonyoung mengangguk, mukanya masih terkubur di dada Wonwoo, “Aku ngerti perasaan kamu, Nyong. Mau marah juga kata-kata Bu Susi ada benernya, dan apa yang beliau bilang itu untuk kebaikan kamu. Tapi aku juga kalau tiba-tiba dibilang aku nggak akan dilulusin sama pembimbing aku sendiri, ya aku bakal kaget.”

“Makanya aku pengen cepetan beresin revisi aja…” ujar Soonyoung sambil melepaskan diri dari pelukan Wonwoo, terus dia usap air matanya sambil manyun, “…biar aku nggak usah ketemu sama beliau lagi.”

“Kasih waktu buat diri kamu sendiri untuk marah sama beliau. Karena kamu emang marah, kan, sama beliau?” Soonyoung mengangguk, “Tapi jangan lama-lama. Biar kamu nggak capek juga. Dendam sama orang nguras terlalu banyak energi, energinya padahal bisa kamu pake buat yang lain. Buat jalan sama aku, misalnya.”

Soonyoung muter matanya, “Alus banget dah.”

“Nggak mau jalan sama aku?”

“Mau…” Soonyoung merengek sambil memeluk Wonwoo lagi. Wonwoo ketawa, tapi terus dia denger Soonyoung kembali menghela nafas panjang, “Aku tahu Bu Susi ngomong gitu untuk kebaikan aku, dan pada akhirnya juga nggak ngaruh sama kelulusan aku. Faktanya aku tetep lulus. Makanya aku juga ngerasa kok kayaknya aku nggak bersyukur banget ya?”

“Nggak gitu. Wajar kalau kamu sakit hati, soalnya mungkin rasanya kamu kayak yang dikhianatin sama Bu Susi. Tapi yang penting kamu sekarang jadi tahu apa yang perlu kamu kembangin supaya kamu bisa jadi psikolog yang lebih baik,” Wonwoo mengelus rambut Soonyoung, “Tahu nggak kamu bisa apa nanti kalau udah lulus?”

“Apa?” tanya Soonyoung sambil mengangkat kepalanya untuk melihat Wonwoo, tapi pelukannya nggak dilepas.

“Buktiin sama Bu Susi, kalau kamu emang layak buat lulus HIMPSI. Jadi psikolog pendidikan yang oke. Penguji kamu juga pasti bakal bangga sama kamu.”

Sinar di mata Soonyoung perlahan kembali, dan senyum mulai mengembang di muka Soonyoung. Wonwoo ikut senyum melihatnya, “Bener juga, ya.”

“Yang penting sekarang kita udah selesai ujian HIMPSI-nya, dan kita udah sama-sama lulus. Kita syukurin aja, istirahat dulu, baru kita lanjut fokus ke tesis,” Wonwoo terus mengelus rambut Soonyoung, “Makasih udah cerita ya, Sayang,” ujar Wonwoo sambil mencium bibir Soonyoung dengan lembut.

“Revisiannya kan udah, sekarang kelon.”

“Iye, iye…”