pulang

part of the compass of my heart au

*

Selama perjalanan pulang ke rumah Jihoon, Seungcheol nggak banyak bicara. Jihoon sebetulnya mengira Seungcheol bakal punya banyak pertanyaan, tapi Seungcheol tampak sibuk sama pemikirannya sendiri. Sesampainya di rumah Jihoon pun, setelah makan siang sampai waktu makan malam, Seungcheol kembali mengurung diri di kamar tamu.

Jihoon agak bingung. Apa salah dia ngobrol sama Chanyeol? Tapi Seungcheol nggak kelihatan marah. Bahkan Seungcheol udah bilang sebelum dia ngobrol sama Chanyeol kalau dia percaya sama Jihoon dan dia nyerahin keputusan untuk ngobrol sama Chanyeol ke tangan Jihoon. Tapi kok terus Seungcheol malah jadi diem? Apa ketegangannya masih bersisa sampe saat ini?

Tapi akhirnya kebingungan Jihoon terjawab setelah makan malam.

“Om, Tante. Makasih udah nampung Seungcheol selama seminggu ini ya. Malem ini Seungcheol mau pulang.”

Nggak hanya Jihoon, tapi orang tua Jihoon juga kaget dengan pengumuman itu.

“Kok tiba-tiba, Nak? Kamu nggak apa-apa pulang?”

“Sebetulnya dari kemarin udah ngobrol sama A Seungmin, Tante, tapi kemaren pusing banget mikirin ujian jadi lupa bilang,” Seungcheol beralasan sambil ketawa, “Di rumah nanti sama keluarganya A Seungmin kok, Tante. Jadi harusnya aman. Kata A Seungmin juga hari ini rumah kosong.”

“Kamu pulang naik apa?” tanya papanya Jihoon.

“Nanti jam 7 dijemput sama A Seungmin, Om.”

“Udah diberesin barang-barang kamu?” tanya mamanya Jihoon.

“Iya, Tante. Tadi abis pulang dari kampus udah diberesin.”

“Nanti kalau ada yang ketinggalan mah minta Jihoon aja yang nganterin, ya.”

Seungcheol ketawa, “Siap, Tante.”

“Kalau ada masalah apa-apa lagi nggak usah sungkan-sungkan. Dateng aja,” kata papanya Jihoon, “Kamu udah kayak anak sendiri buat Papa sama Mama. Cuman tinggal diresmiin aja.”

“Hah, gimana, Pa?” tanya Jihoon tiba-tiba. Pipi Seungcheol dan Jihoon secara kompak memerah, dan orang tua Jihoon ketawa.

***

Setelah nyuci piring, Jihoon ngekorin Seungcheol ke kamar tamu. Mereka nggak ngomong apa-apa sambil duduk sebelahan di atas kasur.

“Kaget ya, Ji?”

Jihoon muter matanya, “Menurut anda?”

Seungcheol ketawa, “Sebetulnya tadi aku bohong sedikit sama orang tua kamu… kemaren malem A Seungmin emang nelpon aku buat nyemangatin ujian, sambil ngajakin pulang juga. Kata A Seungmin dia butuh bantuan aku tentang ayah, tapi aku bisa bantuin apa, aku juga masih nggak ngerti. Tapi kemaren aku bilang aku bakal pikirin dulu. Tadi pas pulang aku baru telpon Aa buat minta jemput.”

“Kenapa kok kamu mau pulang?”

Sebelum menjawab, Seungcheol narik Jihoon ke pelukannya, “Karena aku punya pacar pemberani banget. Aku nggak mau kalah.”

Jihoon ngebales pelukan pacarnya sambil menghela nafas kesal, “Dikit-dikit dijadiin kompetisi, malesin banget.”

Seungcheol ketawa, “Serius, Ji. Aku bangga banget sama kamu. Dari kamu yang panik waktu tahu dia ada di sekitar kamu, terus tadi kalian sampe bisa ngobrol tuh progress yang luar biasa loh. Aku nggak tahu kalian tadi ngobrolin apa, tapi ngelihat reaksi kamu setelah kalian beres ngobrol, kayaknya beban yang ada di bahu kamu tuh udah keangkat. Kamu bisa ngadepin setan masa lalu kamu. Sekarang giliran aku.”

“…aku bisa apa, Kang? Ada yang bisa aku bantu nggak?” tanya Jihoon, “Kamu selalu bantuin aku, kayaknya aku nggak pernah bantuin kamu…”

“Ji, if we start keeping scores, yang ada kita sakit kepala,” ujar Seungcheol sambil ketawa, “Seperti halnya kamu ngerasa aku selalu bantuin kamu, kamu juga selalu bantuin aku, Ji. Kamu aja yang nggak nyadar. Kamu nggak ke mana-mana aja udah jadi sumber energi aku.”

“Beneran?”

“Beneran, sayang,” jawab Seungcheol sambil mengecup singkat bibir pacarnya, terus dia nyengir, “Oh iya, kan katanya kalau aku lulus mau dikasih yang beneran.”

Jihoon mengerang kesal, “Yang ginian aja diinget, kenapa sih?”

“Abis tumben kamu yang nawarin,” jawab Seungcheol, senyumannya belum hilang dari mukanya, “Aku mau yang lama ya.”

“Nggak lama-lama, ah, nanti kakak kamu keburu nyampe…” ujar Jihoon, suaranya mengecil seiring mendekatnya muka Seungcheol ke mukanya.

“Makanya cepetan…” muka Seungcheol berhenti sekitar 2 cm dari muka Jihoon; ujung batang hidung mereka sudah bersentuhan. Waktu Seungcheol tidak menghapus jarak antara mereka, Jihoon mengerang, dan Seungcheol tertawa, “Kan dari kamu, sayang. If you want it, come get it.

Jihoon memutar matanya lalu dia cium bibir Seungcheol. Jihoon sesekali mengapit bibir bawah Seungcheol dengan bibirnya, dan lengan Jihoon semakin erat memeluk Seungcheol. Sesuai permintaan Seungcheol, ciuman mereka bukan ciuman yang dalam, tapi kecupan-kecupan singkat yang berulang dan berlangsung cukup lama. Setiap kali Seungcheol berusaha memperdalam ciuman mereka, Jihoon menjauhkan mukanya dari Seungcheol. Seungcheol sendiri yang bilang bahwa ciuman ini dari Jihoon. Maka Jihoon lah yang berhak mengendalikan semuanya.

Waktu Jihoon merasa nafasnya semakin pendek, dia menjauhkan mukanya dari muka Seungcheol, “Selamat ya, udah jadi psikolog. Bangga aku tuh sama kamu.”

“Yah, udahan?”

“Udah lah, bentar lagi jam 7.”

Seungcheol manyun, “Tahu gitu minta yang dalem aja. Nggak puas ternyata.”

Pipi Jihoon memerah, “Jadi orang jangan serakah, ih. Lagian salah sendiri milihnya yang lama. Masih untung aku kasih.”

“Abis kamu nggak sampe mabok. Nggak seru.”

“Dibilangin nggak ada yang mabok gara-gara dicium.”

“Dibilangin kamu kayak gitu,” Seungcheol nyengir, “Padahal kan aku pengen denger kamu bilang kamu sayang sama aku…”

“Aku sayang kamu, Kang.”

“…tapi kamunya nggak sampe… hah?”

Mata Seungcheol membelalak sedikit waktu dia dengar kata-kata yang dia ingin dengar muncul secara sukarela dari mulut pacarnya. Jihoon terus muter matanya lagi, “Katanya pengen denger. Aku udah bilang tapi nggak dibales. Rugi.”

Seungcheol ketawa keras, sebelum dia tarik lagi Jihoon ke pelukannya, dan puncak kepala Jihoon dia cium, “Aku juga sayang banget sama kamu, Ji.”

Hening memenuhi kamar tamu setelah deklarasi keduanya. Seungcheol nggak melepaskan pelukannya dan Jihoon pun nggak kelihatan keberatan.

“Ji… aku nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah ini, dan berapa lama waktu yang aku perluin untuk ngeberesin masalah masa lalu aku… tapi aku boleh minta kamu percaya sama aku?”

“Kok morbid amat, Kang?”

“Jaga-jaga aja.”

“…iya Kang, aku percaya sama kamu. Aku pasti nungguin kamu kok.”

“Nanti kalau semuanya udah beres… kita omongin masa depan kita, ya.”