perasaan si bungsu
part of the compass of my heart au
Seungcheol belum pernah menjejakkan kakinya ke dalam ruangan persidangan sebelumnya. Seungcheol pernah disaranin sama Kang Pras – salah satu dosennya yang cukup aktif di Asosiasi Psikologi Forensik – bahwa kalau dia serius pengen jadi psikolog forensik, dia harus mulai ngebiasain diri sama hawa persidangan di pengadilan, karena salah satu kerjaan psikolog forensik bakal cukup sering terjadi di pengadilan.
Seungcheol nggak pernah ngebayangin bahwa persidangan yang paling pertama dia tonton adalah perceraian orang tuanya sendiri.
Seungcheol nggak dateng ke persidangan pidana ayahnya karena ibu dan kakaknya ngelarang dia untuk dateng. Menurut mereka, Seungcheol mending fokus ngerjain tesisnya aja, karena Seungcheol emang nggak terlibat secara langsung dalam kasus itu. Tapi di benak Seungcheol, ada kecurigaan bahwa ibu dan kakaknya lagi memperlakukannya kayak anak kecil yang nggak akan kuat nonton sidang kayak gitu. Memang risiko jadi ‘si bungsu’; berapapun umurnya, dia akan selalu jadi anak kecil di mata keluarganya.
Waktu Seungcheol ngelihat ayahnya yang, entah gimana ceritanya, diperbolehkan untuk dateng ke persidangan itu, dia sempet ngerasa takut. Ketakutan itu familiar baginya; itu perasaan takut yang sama dengan yang selalu dia rasakan setiap dia harus berinteraksi dengan ayahnya. Seungcheol bahkan nggak inget kapan perasaan takut itu pertama kali muncul. Sejak kapan semuanya berubah?
Tapi perasaan takut itu pergi secepat dia muncul. Saking cepetnya, Seungcheol sendiri sampe bertanya-tanya kenapa dia pernah sebegitu takutnya sama ayahnya.
Ayahnya kelihatan begitu lemah. Rasanya belum nyampe sebulan ayahnya masuk penjara, tapi kelihatannya kehidupan di penjara seberat itu untuk beliau. Ayahnya kelihatan lebih kurus dari yang Seungcheol ingat, pipinya tirus, matanya yang biasanya selalu terlihat garang seakan kehilangan sinarnya.
Perasaan takut yang biasanya muncul akibat sosok ayahnya sekarang berubah jadi perasaan iba. Seungcheol hanya bisa berharap ayahnya bakal menggunakan waktunya di penjara untuk introspeksi dan bergerak ke arah perubahan yang lebih baik.
Seungcheol nggak terlalu fokus sama konten dari persidangannya, terlalu terdistraksi sama ayahnya yang terus-terusan menunduk. Bahkan waktu ditanya sama hakim pun beliau ngejawab tanpa mendongak terlalu tinggi; berbeda 180 derajat dari sosok ayahnya yang selama ini Seungcheol inget. Dalam ingatannya, ayahnya selalu terkesan seperti memandang rendah orang lain, dengan dagunya naik dan dahinya ke belakang, melihat lawan bicaranya dari atas.
Hal lain yang cukup mengagetkan buat Seungcheol adalah waktu ibunya bilang, “dia bukan lagi lelaki yang saya cintai,” dan menyatakan bahwa hubungan mereka udah nggak bisa diselamatkan, ada kesedihan mendalam yang sangat kentara di air muka ayahnya. Selama Seungcheol tinggal dengan ayahnya selama hampir 3 dekade, nggak pernah sekalipun Seungcheol ngelihat ayahnya sedih, apalagi nangis. Tapi kenyataan bahwa istrinya menggugat cerai beliau dan menyatakan bahwa mereka udah nggak mungkin untuk rujuk bikin beliau sebegitu sedihnya.
Lagi-lagi, Seungcheol merasa iba, dan kemunculan perasaan itu sesungguhnya bikin Seungcheol lega. Selama ini Seungcheol mengira dia udah benci sama ayahnya, dan dengan munculnya dugaan kalau dia punya perasaan sejelek itu sama ayahnya membuat dia ngerasa bersalah. Tapi ternyata dia nggak benci sama ayahnya; dia hanya marah.
Dengan adanya kesadaran akan perasaannya itu, rasa takut dan cemas yang dia rasain gara-gara mikirin kemungkinan bahwa dia harus ngobrol lagi sama ayahnya menghilang kayak sihir. Mungkin dengan ngobrol sama beliau, Seungcheol juga bakal ngerti kenapa beliau berubah, dan akhirnya sekarang kehilangan segalanya.
Seperti yang Seungcheol pernah bilang sama Jihoon, pintu maafnya akan selalu kebuka untuk ayahnya. Kali ini, Seungcheol yakin kalau dia bisa maafin ayahnya dengan tulus. Bukan untuk kebaikan ayahnya, tapi untuk kebaikan dirinya sendiri.