nothing but happiness

part of the compass of my heart au || tw // pembicaraan tentang gay-bashing

*

Sejak Seungcheol dianter ke rumah Jihoon sama Seungmin dalam keadaan bermuka lebam, Seungcheol nggak pernah pulang ke Ciumbuleuit. Selama seminggu sampe dia harus ujian HIMPSI, Seungcheol tinggal di rumah Jihoon. Bahkan waktu baju gantinya habis pun Seungmin yang nganterin ke rumah Jihoon. Tentunya di rumah Jihoon nggak ada orang yang tega ngusir Seungcheol; mamanya Jihoon nggak pernah nolak kalau ada tambahan mulut yang perlu beliau kasih makan, dan papanya Jihoon seneng karena ada orang yang lebih tertarik daripada istri dan anaknya sendiri buat ngedengerin ocehan beliau soal lovebird yang lagi beliau ternakin.

Dan tentunya Jihoon juga seneng. Meskipun dia nggak pernah bilang, dia selalu seneng ngelihat interaksi Seungcheol sama orang tuanya. Dia bisa lihat segimana sayangnya orang tuanya sama Seungcheol, dan gimana kasih sayang itu dibalas dengan rasa hormat dari Seungcheol.

Tapi selama dua malem terakhir, Seungcheol lebih sering di kamar tamu. Dia hanya bakal keluar kalau waktunya makan atau kebutuhan biologisnya udah mulai menuntut; nggak jauh beda sama Jihoon yang lagi sibuk ngerjain lagu. Waktu Jihoon ngecek keadaan dia dua malem yang lalu, Seungcheol lagi fokus baca ulang laporan-laporannya. Tapi Jihoon bisa lihat, dari ketegangan ujung bibir Seungcheol dan bahunya, kalau pacarnya lagi tegang.

Selama Jihoon kenal Seungcheol, dia nggak pernah lihat pacarnya segugup ini. Bahkan waktu nembak Jihoon aja nggak separah ini.

Kegugupan itu masih kentara sampe Jihoon ninggalin Seungcheol di ruangan pengujian sebelum para dosen masuk. Waktu Seungcheol nyuruh Jihoon untuk ninggalin dia, cowok yang lebih tinggi itu udah berusaha ngasih dia senyuman, tapi Jihoon nggak bisa ketipu. Seungcheol masih gugup, dan Jihoon paham kenapa Seungcheol gugup: kelulusannya dalam ujian ini penting banget buat Seungcheol.

Jujur, meski Jihoon paham kenapa Seungcheol gugup, buat Jihoon, Seungcheol nggak punya alasan untuk gugup. Kalau ada orang yang pasti lulus ujian kelayakan jadi psikolog, Seungcheol adalah orang pertama yang muncul di kepalanya. Tapi Seungcheol hari itu membuktikan ke Jihoon untuk sekian kalinya, kalau pacarnya itu nggak sempurna, dan masih bisa ngerasain emosi-emosi nggak menyenangkan kayak gugup. Buat Jihoon, sosok Seungcheol yang gugup malah bikin dia makin sayang – tapi mana mungkin Jihoon bisa bilang gitu ke muka Seungcheol.

Selama di perpustakaan, Jihoon lanjut ngerjain laporannya, sedangkan Seungkwan, yang kegugupannya mungkin ngalahin Seungcheol, terus-terusan ngintip ke arah ruang mahasiswa TBK yang bisa dia lihat dari pintu kaca perpustakaan.

“Tuh anak nggak ada yang bisa dikerjain apa ya?” komentar Jun.

Joshua ketawa, “Udah lah, Jun, dia juga nervous.”

“Untung ada Seungkwan yang lebih tegang daripada gue,” ujar Soonyoung, yang kliennya nggak jadi dateng, “Kalau nggak kayaknya gue yang nemplok di pintu sekarang.”

“Pawangnya malah ngadep pembimbing dulu sih,” ujar Seokmin sambil ketawa.

Lama kelamaan gerak-gerik Seungkwan yang kelihatan gelisah jadi makin mendistraksi kelompok mereka dan akhirnya mereka semua nyerah dan berhenti ngerjain apapun yang lagi mereka kerjain. Bahkan kedatangan Wonwoo, Jeonghan, dan Vernon pun nggak bisa bikin Seungkwan lepas dari pintu perpustakaan.

Waktu Jihoon beres matiin laptopnya, Seungkwan tiba-tiba teriak sambil dadah-dadah, “Kak Cheol udah keluar!”

“Sssh!”

“Eh, maaf, Pak…” ujar Seungkwan kepada penjaga perpustakaan. Seungkwan terus lari ke mejanya, “Siapa yang mesen J.Co?”

“Gue,” jawab Mingyu, “Udah OTW dari Jatos.”

“Sip! Makasih Kak Ming!”

“Jangan lupa bayar balik ya!”

“Iyee, bawel.”

Nggak lama kemudian, Seungcheol ngedatengin meja mereka. Jihoon ngelihat bahunya udah lebih rileks dan senyum yang dia kasih ke grup kecil mereka udah kelihatan lebih santai, tapi dia masih kelihatan agak tegang.

“Gimana, Kak?”

“Ya, gitu deh, Chan,” jawab Seungcheol sambil ketawa dan ngacak-ngacak rambut Chan.

“Lulus nggak nih?” tanya Jeonghan.

“Ya mana gue tau, gimana pengujinya,” ujar Seungcheol sambil ngangkat bahu, “Gue nongkrong depan ruangan ya. Kata Kang Mamat jangan jauh-jauh soalnya.”

Tanpa nunggu jawaban temen-temennya, Seungcheol langsung pergi lagi. Jihoon dan temen-temennya langsung ngeberesin barang-barang mereka untuk ngikutin Seungcheol ke depan ruang mahasiswa TBK. Pas banget waktu mereka nyampe depan ruangan, pintunya kebuka dan Kang Mamat keluar dari ruangan.

“Wah, bawa rombongan, Cheol?”

“Tim hore, Kang!” jawab Seungkwan. Kang Mamat ketawa.

“Saya ke toilet dulu, nanti masuk bareng ya,” ujar Kang Mamat.

“Siap, Kang,” Seungcheol ngangguk. Kang Mamat jalan ke arah WC pria, dan Seungcheol mulai mondar-mandir.

“Diem ih, Kang, pusing lihatnya, kayak setrikaan,” komentar Jihoon.

“Santai aja, Cheol, kan bagian beratnya udah kelar,” ujar Joshua.

“Sumpah, kalau lo aja nggak lulus, kita nggak ada harapan, Kak,” celetuk Wonwoo.

“Jangan gitu ih,” rengek Seungcheol, yang dijawab dengan tawa dari temen-temennya. Nggak lama kemudian, Kang Mamat keluar dari WC.

“Yuk, Cheol. Temen-temennya tunggu di luar ya.”

Seungcheol narik nafas panjang dan ngasih temen-temennya pandangan panik dengan senyuman, dan temen-temennya cekikikan sambil dadah-dadah. Pintu ruang mahasiswa TBK ditutup di belakang Seungcheol.

Seungkwan langsung nempelin kupingnya ke jendela ruang mahasiswa TBK. Untungnya jendela itu nggak 100% tembus pandang; ada garis-garis buram yang menghalangi pandangan dari luar ke dalam dan sebaliknya, jadi Seungkwan nggak akan kelihatan dari dalam ruangan.

Tapi bahkan tanpa Seungkwan nguping sekalipun, suara Bu Siti yang terdengar familiar bagi Jihoon dan Soonyoung sayup-sayup masih bisa terdengar ke luar ruangan. Jihoon senyum waktu dia denger suara mantan dosen pembimbing skripsinya.

“…atas nama HIMPSI, saya nyatakan anda, Choi Seungcheol, telah lulus ujian praktik kerja…”

***

Setelah Seungcheol keluar dari ruangan ujian dalam keadaan lulus tanpa perbaikan, Mingyu langsung nyodorin satu kotak J.Co isi selusin yang emang udah mereka rencanain untuk beli untuk ngerayain kelulusan Seungcheol. Seungkwan juga langsung masangin selempang bertuliskan “PSIKOLOG JANTAN” ke badan Seungcheol.

Jihoon nggak berusaha untuk nyembunyiin kebahagiaannya. Selama dia ngelihatin Seungcheol diselamatin sama temen-temennya, Jihoon udah senyum-senyum sendiri. Dan waktu matanya ketemu sama mata mantan dosen pembimbingnya, senyum Jihoon makin lebar.

“Eh, kamu anak aku, kan? Jihoon?” ujar Bu Siti.

Jihoon ngangguk dan menyalami dosennya, “Apa kabar, Bu?”

“Kamu yang apa kabar! Ke mana aja kamu? Lupa kamu sama kulitmu?” omel Bu Siti. Jihoon hanya bisa ketawa.

“S-2 lebih sibuk dari yang saya kira, Bu,” aku Jihoon sambil tetap memegang tangan dosennya.

“Sehat kamu, nak? Dibandingin sama terakhir aku lihat kayaknya kamu lebih bahagia?”

Mata Jihoon membelalak sedikit sebelum sorot mata dan senyumnya melembut. Tanpa sadar, dia ngelihat ke arah Seungcheol yang masih dikasih selamat sama temen-temennya, “Sehat, Bu. Sekarang cuma lagi sibuk aja, tapi emang rasanya lebih bahagia kok, Bu.”

“Syukurlah kalau gitu,” ujar Bu Siti dengan tatapan keibuan yang nggak jauh beda sama yang biasa Jihoon terima dari mamanya, “Dia yang baru, ya?”

Jihoon hanya bisa ketawa mesem-mesem.

“Bagus lah, kamu udah bisa membuka hati kamu sama yang baru. Aku tahu betul apa yang kamu lewatin,” ujar Bu Siti sambil nepuk-nepuk punggung tangan Jihoon yang masih beliau pegang.

Memang dari semua dosen di almamaternya, Jihoon ngerasa paling nyaman dan paling deket sama Bu Siti. Bukan hanya karena beliau adalah dosen yang udah ngebimbing dia skripsi selama sekitar dua semester, tapi juga karena beliau sering jadi psikolog tidak resmi-nya Jihoon selain psikolog yang emang Jihoon datengin untuk nerima terapi. Bu Siti tahu semua seluk beluk tentang kejadian gay-bashing yang dia alami, dan beliau juga sering ngebantuin Jihoon – yang waktu awal ngerjain skripsi masih tandem sama terapi – bikin jadwal bimbingan yang nggak bentrok sama jadwal terapinya.

“Bu,” panggil Seungcheol tiba-tiba, “Boleh foto bareng?”

“Oh, boleh! Nanti aku minta lewat Jihoon, ya,” ujar Bu Siti sambil senyum.

“Sini, Kang, aku fotoin,” tawar Jihoon. Seungcheol ngasih HP-nya ke Jihoon dan Jihoon ngambil 3 foto Seungcheol sama Kang Mamat dan Bu Siti. Setelah foto, Jihoon ngembaliin HP Seungcheol ke pemiliknya dan dia lihat Soonyoung nyapa Bu Siti.

Nggak lama setelah Bu Siti pamit, Kang Mamat ditarik sama Jihoon dan temen-temennya untuk foto bareng di taman belakang Gedung 1. Waktu Seungkwan ngebentangin x-banner yang didesain sama Mingyu dan Minghao, Seungcheol dan Kang Mamat ketawa. Ada 3 foto mereka ber-13 dengan tulisan “JANTAN, M.PSI., PSIKOLOG” di bagian atas.

“Karena belom M.Psi, pake ini,” ujar Seungkwan sambil nempelin pita warna merah di atas tulisan M.Psi.

“Mau foto ber-13? Yang fotoin siapa nih?” tanya Wonwoo.

“Gue aja, nggak apa-apa.”

“Kak Jihoon nggak boleh!” larang Seungkwan.

“Santai aja, Kwan, nanti kan tukeran,” Jihoon beralasan.

“Yang punya hajat kan Seungcheol, jangan Jihoon yang motoin,” ujar Kang Mamat. Pipi Jihoon dan Seungcheol memerah. Sebetulnya Jihoon dan Seungcheol nggak pernah terlalu menunjukkan hubungan mereka, tapi mereka harusnya bisa menduga kalau Kang Mamat terlalu dewa untuk ditipu.

“Udah, nurut sama Kang Mamat, Hoon. Gue aja yang motoin,” tawar Joshua.

“Nah, ini ada Chanyeol lewat. Chanyeol, sini bentar!”

Saat Kang Mamat manggil Chanyeol, Jihoon, Seungcheol, dan Soonyoung seakan-akan janjian dan badannya menegang bareng. Jihoon secara refleks ngelihat ke arah Seungcheol, kepanikan jelas kelihatan di matanya. Seungcheol ngelihat balik ke dia. Soonyoung juga ngelihat ke arah Jihoon sambil sesekali memandang Chanyeol dengan penuh kebencian.

“Iya, Kang, ada apa ya?” tanya Chanyeol.

“Tolong fotoin,” ujar Kang Mamat singkat.

“Lagi ada acara apa nih, Kang?”

“Ini, Seungcheol abis lulus HIMPSI.”

“Oh, gitu? Selamat ya, Cheol.”

Seungcheol senyum, tapi Jihoon tahu senyumannya agak kepaksa, “Makasih.”

Setelah Chanyeol ngambil foto mereka ber-14 pake kameranya Mingyu, dia ngembaliin kamera itu ke pemiliknya. Setelah minta fotonya dikirim lewat WhatsApp, Kang Mamat izin kembali ke ruangan beliau. Waktu temen-temen mereka berkumpul di sekitar Mingyu untuk ngelihat hasilnya, Jihoon berusaha buat sembunyi dari Chanyeol dengan membuat badannya lebih kecil lagi, tapi dia gagal.

“Uji,” panggil Chanyeol, “Boleh ngobrol sebentar?”

Maneh…!”

“Nyong,” hardik Seungcheol, bersamaan dengan tangan Jihoon yang narik lengan baju Soonyoung. Waktu Soonyoung ngelihat ke arah Jihoon, dia menggeleng. Soonyoung manyun, terus dia jalan ke arah Wonwoo dan meluk erat lengan pacarnya.

Jihoon nutup matanya, terus dia keluarin semua udara di paru-parunya. Terus dia tarik nafas dalem-dalem sebanyak 4 hitungan, dia tahan 7 hitungan, terus dia keluarin 8 hitungan. Dia ulang sekali lagi, terus dia buka matanya, yang langsung ketemu sama mata Seungcheol. Jihoon menghela nafasnya. Lewat kontak mata, dia bertanya sama Seungcheol apa yang harus dia lakuin.

“Terserah kamu, Ji. Aku percaya sama kamu.”

Lagi, Jihoon menghela nafasnya, terus dia ngangguk. Dia ngebalik untuk menghadap Chanyeol, terus dia bilang, “Boleh, Kang. Mau ngobrol di mana?”

***

“Gue yang ngajak ngobrol tapi gue juga bingung mau ngomong apa,” ucap Chanyeol sambil ketawa gugup. Jihoon yang duduk di sebelah Chanyeol di kursi-kursi yang ada di luar bagian belakang Gedung 1 ngangguk, sebelum dia kumpulin keberaniannya.

“Kalau gitu boleh gue yang nanya aja nggak?” tanya Jihoon.

“Boleh,” jawab Chanyeol, “Gue yakin lo pasti punya banyak pertanyaan.”

“Kenapa, Kang...? Kenapa lo tinggalin gue waktu itu?”

Akhirnya, pertanyaan yang selalu ada di ujung pikiran Jihoon berhasil dia tanyain. Jihoon nggak punya ekspektasi apapun mengenai jawaban yang akan dia terima, murni supaya dia nggak akan kecewa kalau dia dapet jawaban yang nggak dia harapkan. Dia hanya pengen tahu.

“Gue…” Chanyeol menghela nafas, “Jujur, Ji. Gue waktu itu takut. Takut banget. Gue tahu gue nggak bisa ngelawan mereka. Gue takut mereka bakal nyebarin gosip, dan gue takut gosip itu nyampe ke orang tua gue. Gue takut orang tua gue tahu gue gay dan mereka nggak nerima gue.”

“Oh iya… ayah lo dosen di Teknik Geologi di almamater kita, ya…”

“Iya, dan dia ada temen deketnya di Psikologi, jadi kalau ada hal jelek tentang gue, pasti langsung nyampe ke ayah gue. Gue pikir waktu gue lari, lo ngikutin gue. Tapi waktu gue nyadar lo nggak ada di belakang gue, gue panik. Gue bingung, gue harus balik lagi apa nggak. Tapi akhirnya gue milih jalan pengecut, Ji. Gue balik ke rumah,” Chanyeol nutup mukanya pake kedua tangannya, “Waktu gue denger lo masuk rumah sakit, bahkan sampe koma… gue nyesel banget, Ji.

“Tahu gitu gue balik lagi. Tahu gitu gue cari lo. Bukannya kabur, malah balik ke rumah. Harusnya gue berusaha lebih keras buat ngelindungin lo, tapi gue nggak bisa. Gue terus-terusan ngutuk diri gue yang pecundang. Setiap kali Soonyoung ngusir gue dari rumah sakit pas gue jenguk, atau waktu dia ngelarang gue deket-deket sama lo pun gue ngerasa pantes untuk diperlakukan kayak gitu.”

Jihoon narik nafas dalem-dalem, dan waktu dia keluarin, ada air mata yang menitik dari matanya, mengalir di atas pipinya.

“Gue udah berusaha lari… tapi ada yang narik tangan gue waktu itu,” ujar Jihoon, “Waktu lo nggak ngelihat ke belakang buat ngecek gue ngikutin lo apa nggak, gue udah pasrah. Nggak cuman sekali atau dua kali gue nyalahin lo. Tapi sekarang gue udah tahu, yang salah bukan lo dan bukan gue. Tapi orang-orang yang ngeroyokin gue.”

“Kata psikolog gue juga gitu.”

“Lo sampe ketemu psikolog?”

“Gue setelah kejadian itu nggak bisa fokus sama sekali, Ji. Skripsi gue nggak lanjut sama sekali, di rumah gue cuman ngurung diri di kamar, makan pun nggak. Ibu gue khawatir kali ya, terus beliau nggak pake ngomong apa-apa, beliau nyupirin gue ke rumah sakit. Akhirnya gue ke psikolog buat terapi sama ke psikiater, dikasih antidepresan juga.”

Setelah penjelasan Chanyeol, kesunyian melanda mereka berdua. Hanya keributan dari teman-teman Jihoon dan sesekali ada bunyi mesin motor yang terdengar.

“…waktu itu gue pikir gue nggak pantes buat lo lindungin, makanya lo lari.”

“Nggak!” ujar Chanyeol cepat, “Nggak kayak gitu. Gue beneran suka sama lo, Ji. Sumpah. Lo aja yang nggak beruntung, dapet cowok yang suka lari dari masalah,” Chanyeol terus ketawa, seakan-akan ngetawain dirinya sendiri, “Waktu mau ospek TBK pun, gue lihat lo di TBK. Gue nggak nyangka bakal ketemu lo lagi di sini, dari semua tempat di dunia di mana kita bisa ketemu. Waktu gue lihat lo, gue otomatis langsung bilang sama temen-temen gue kalau gue ada urusan mendadak. Ternyata gue masih suka kabur dari masalah gue; percuma gue ke psikolog.”

“Jangan gitu,” ujar Jihoon, “Lo udah bisa ngajak gue ngobrol dan jawab pertanyaan gue dengan jujur. Gue rasa itu kemajuan yang besar banget.”

Chanyeol ngasih Jihoon senyuman, yang Jihoon balas, “Makasih, Ji.”

“Makasih juga, Kang, udah ngejelasin. Dan gue maafin lo. Gue harap lo juga bisa maafin diri lo sendiri.”

“Gue usahain, Ji.”

Jihoon ngerasain ada yang ngelihatin dia dari tadi. Dia ngelihat ke arah kerumunan temen-temennya yang masih ada di taman belakang Gedung 1, dan matanya ketemu sama mata Seungcheol. Dia senyum ke arah Seungcheol, yang juga ngebales senyumannya.

“…terus alasan lain kenapa gue kabur waktu ospek TBK tuh soalnya gue lihat interaksi lo sama Seungcheol,” ujar Chanyeol, “Kalian pacaran?”

“…iya.”

“Dari kapan?”

“Semester 2.”

“Lo bahagia sama dia?”

“…I’ve never been this happy in my life, Kang.”

Chanyeol senyum, “Then, I’m glad.”

Jihoon terus ketawa kecil, “Kalau kita belom putus tapi gue udah punya pacar baru tuh namanya selingkuh bukan?”

“Kayaknya gue otomatis udah diputusin waktu gue ninggalin lo buat jadi korban keroyokan, Ji.”

“Rasanya nggak afdol aja kalau nggak ada kata ‘putus’.”

Then say it.”

Jihoon menghela nafas dalem, sebelum dia ngelihat ke arah Chanyeol, “Kang, kita putus ya.”

“Oke, Ji. I wish you nothing but happiness.”

You too,” balas Jihoon.

“Gue tahu mungkin ini agak nggak tahu malu, tapi... boleh nggak kalau kita temenan lagi?”

Jihoon senyum ke lelaki yang pernah jadi salah satu bagian penting dalam hidupnya, dan dia ngangguk, “Boleh lah, Kang. You deserve a second chance at being my friend. Just don't call me Uji anymore.”

Chanyeol ketawa, “Padahal gue bangga loh sama nama panggilan itu.”

“Sekarang hanya ada satu orang yang berhak manggil gue 'Ji', Kang. I hope you understand.”

Chanyeol menghela nafas pendek, “Harus gue biasain sih, tapi gue yakin gue bisa... Hoon.”