naracap, junhao version

part of the compass of my heart au

Siang itu, meskipun awalnya Minghao hanya ikut Mingyu ke BEC untuk nyari earphone baru, akhirnya mereka pisah dan Minghao pergi untuk nemenin Junhui ke Gramedia.

Minghao seneng ke Gramedia, atau ke toko buku in general. Salah satu hobinya emang baca novel non-fiksi. Berbeda sama pacarnya yang lebih seneng cerita fiksi bergambar.

Minghao dan Junhui awalnya jadi deket simply karena faktor etnis. Mereka berdua sama-sama orang Jawa keturunan Tionghoa di antara peer group mereka. Minghao sendiri berani ngaku, dia bisa beradaptasi sama lingkungan kuliah dengan kultur berbeda karena ada Junhui yang selalu bisa bikin dia ngerasa lebih nyaman.

And at some point, kenyamanan itu berkembang jadi rasa suka.

Minghao sendiri kaget waktu dia nyadar dia suka sama Junhui, karena Junhui itu bukan ‘tipe’-nya. Selama ini Minghao pikir ‘tipe’-nya adalah cowok kalem yang mengapresiasi seni. Kayak Wonwoo.

Iya, dulu Minghao sempet naksir sama Wonwoo setelah tahu cowok berkacamata itu seneng fotografi. Sesimpel itu; karena Wonwoo sesuai sama ‘tipe’-nya. Tapi, waktu awal kuliah S-2, mereka berdua sempet hunting foto bareng sambil keliling Bandung. Di situ lah Minghao yakin, bahwa mereka lebih cocok jadi temen. Anehnya, Minghao ngerasa kayak gitu karena mereka terlalu mirip. Mereka sama-sama pendiem, sama-sama suka seni. Minghao suka sama hal itu, tapi buat dia, jadi temen aja cukup.

Dan waktu dia tahu kalau Wonwoo ternyata nyimpen rasa selama hampir 4 tahun buat Soonyoung, Minghao ngerasa kalau keputusannya untuk nggak menindaklanjuti perasaan ‘naksir’nya itu udah tepat. Kalau dia sampe nembak Wonwoo, pasti mereka nggak akan bisa jadi temen kayak sekarang.

Terus ada Junhui, yang tergolong ribut, rame, dan lebih suka sama seni yang bergerak, kayak tari, teater, dan film, daripada seni statis yang disukain sama Minghao seperti lukisan, foto, atau literatur. Junhui juga lebih tergolong ke orang yang strictly penikmat seni, nggak kayak Minghao yang juga suka menciptakan seni. Kalaupun bicara soal literatur, seperti yang sempet disinggung sebelumnya, Junhui lebih suka yang bergambar daripada yang isinya tulisan semua.

Tapi Minghao nggak pernah ngerasain apa yang dia rasain buat Junhui sebelumnya. Dia lebih takut kehilangan Junhui dalam hidupnya daripada waktu dia takut kehilangan Wonwoo sebagai temen gara-gara perasaan sukanya.

Terus Junhui nyelametin dia dari blind date sama cowok paling nyebelin yang pernah dia temuin. Selama duduk di depan kencan butanya, Minghao hanya mikir ’Pengen sama Mas Junhui aja’.

Dan layaknya dongeng, tiba-tiba Mas Junhui-nya nge-chat untuk nawarin jadi penyelamatnya. Nggak lebih dari 5 menit setelah dia chat Junhui kalau dia pengen banget pulang, Junhui muncul di hadapannya, nggak pake banyak basa-basi, Minghao ditarik pulang.

Minghao masih inget waktu dia ditembak sama Junhui. Nggak lama setelah kejadian kencan buta itu, Junhui ngejemput dia di lobby apartemennya. Mereka nggak jaga TBK bareng, mereka beda majoring, dan mereka nggak ngambil minoring yang sama, jadi sebetulnya nggak ada alasan untuk Junhui ngejemput Minghao. Tapi Junhui sengaja dateng ke Pinewood untuk nemenin Minghao ke kampus buat jaga TBK. Minghao bahkan dianterin pulang juga.

Sesampenya di apartemen, Junhui bersikeras nganterin Minghao sampe depan kamarnya. Di situ, Minghao dipeluk sama Junhui, terus Junhui bilang dia ‘nggak mau lihat Minghao sama cowok lain’. And the rest is history.

Minghao nggak ngerti kenapa memori itu tiba-tiba muncul di kepalanya waktu mereka lagi naek angkot ke arah Baltos setelah beres beli buku di Gramedia. Mungkin karena dia akhir-akhir ini ngerasain adanya ‘akhir’ yang mulai mendekat.

Mereka baru aja ngejalanin sumpah profesi psikolog. Junhui baru ujian naskah tesis. Minghao udah punya tanggal ujian naskah tesis; lusa, bareng sama Mingyu dan Seokmin. Kalau itu udah selesai, mereka berdua tinggal ujian tesis, terus wisuda. Selesai. Tapi abis itu apa? Kalau Junhui pulang ke Surabaya dan Minghao pulang ke Yogyakarta, apakah mereka bakal ngejalanin LDR atau malah putus?

Lagian emangnya Junhui bakal pulang ke Surabaya? Karena setahu Minghao, Soonyoung dan Wonwoo udah dapet tawaran kerjaan di Jakarta dari salah satu temennya Bang Cahyo, dan pihak yang nawarin kerjaan hanya tinggal nungguin ijazah mereka keluar aja. Minghao nggak tahu apakah tawaran itu nyampe ke Junhui atau nggak. Kalau nyampe dan Junhui terima, berarti jarak mereka bakal jadi lebih jauh lagi.

“Hao?” panggil Junhui sambil nepuk-nepuk bahu Minghao. Minghao loncat sedikit. Ternyata selagi dia ngelamun, mereka udah deket Baltos, “Jangan ngelamun, bentar lagi turun loh. Kiri!”

Angkot yang mereka tumpangi mulai berhenti. Minghao ngikutin Junhui turun dari mobil, dan nungguin Junhui bayar ongkos mereka. Minghao masih belom terlalu fokus waktu mereka jalan sampe Arnes, bahkan sampe mobil Arnesnya dateng.

Lamunannya baru pecah waktu ada sesuatu yang hangat di sekitar lehernya di perjalanan menuju Jatinangor. Waktu dia lihat ke arah lehernya, ada syal warna hijau tua yang agak kurang rapi rajutannya ngelingkar di lehernya. Dia ngelihat ke arah Junhui, yang lagi nyengir.

“Jelek ya? Itu aku udah coba berhari-hari nggak rapi-rapi melulu, tapi itu yang paling panjang yang berhasil aku rajut.”

“Ini Mas rajut sendiri?”

Junhui ngangguk, “Waktu aku lihat di YouTube, kok kayaknya aku juga bisa, makanya aku cobain. Lumayan sih, bikin rileks waktu lagi stres ngerjain tesis. Lagian kamu udah sering banget ngasihin karya kamu buat aku, ini balas budi.”

Apa yang Junhui bilang emang bener. Minghao seneng ngasih Junhui hasil karyanya, baik itu lukisan, foto, atau video yang dia edit. Tapi seperti yang disinggung sebelumnya, Junhui bukan termasuk golongan pencipta seni. Makanya, syal yang meskipun nggak rapi tapi tetep hangat itu jadi dua kali lebih berharga buat Minghao.

“Kalau nggak mau, nggak apa-apa, balikin aja…”

“Mau,” potong Minghao, “Jangan diambil lagi, Mas, aku suka.”

“Yakin? Nggak rapi loh, nggak indah kayak lukisan kamu.”

“Mas bikin buat aku, kan? Kalau Mas yang bikin, aku mau,” ujar Minghao, masih nyentuh-nyentuh syal barunya. Benang rajut yang Junhui pilih tergolong lembut dan nggak terlalu berat. Minghao udah mulai ngebayangin baju apa aja yang bisa dia padu padanin sama syal barunya.

“Kamu suka?”

“Suka, Mas.”

“Nanti aku rajutin yang lebih rapi ya,” Junhui berjanji.

“Aku tungguin, Mas,” Minghao ngangguk, masih mengagumi aksesoris barunya. Junhui hanya senyum ngelihatin pacarnya.

“Hao,” panggil Junhui, “Sebenernya itu sogokan.”

“Hah? Maksudnya gimana Mas?”

“Itu sogokan… biar nanti abis lulus kamu mau ikut sama aku pulang ke Surabaya. Nanti aku temenin kamu pulang ke Yogyakarta. Mau nggak?”

Mata Minghao membelalak. Tanpa sadar, tangannya mulai meremas syal barunya, “Mas serius?”

Junhui ngangguk, “Aku pengen kamu minimal kenalan dulu sama orang tuaku. Ibu udah nanyain kapan mau dikenalin sama kamu. Nanti aku juga pengen ketemu orang tua kamu. Boleh nggak?”

Minghao mulai ngerasain panas di matanya, “Terus Mas mau ngapain ketemu sama orang tua aku?”

“Mau ngejelasin… aku mau kerja di biro di Surabaya. Kalau rezeki, aku juga mau kerja jadi psikolog sekolah. Biar bisa ngumpulin uang buat ngehidupin keluarga kita nanti. Kalau aku jelasin kayak gitu kamu seneng nggak?”

Minghao menggigit bibir bawahnya. Waktu dia ngedip, setitik air mata jatuh di pipinya. Dia terus ngegelengin kepalanya. Junhui kelihatan kaget dan sedih, tapi dia terus bilang, “Aku nggak seneng… soalnya aku juga mau bantuin ngumpulin uangnya Mas. Aku belom mulai nyari, tapi aku juga mau kerja di biro. Kalau nggak di Jogja ya di Surabaya. Boleh kan, Mas?”

Air muka Junhui jadi makin cerah. Matanya juga berkaca-kaca. Dia mencium bibir Minghao lembut, sebelum ciumannya patah karena dia ketawa, “Boleh dong, Hao. Boleh banget. Makasih, sayangku.”

Sepanjang perjalanan menuju Jatinangor, kepala Minghao bersandar ke bahu Junhui. Keduanya tertidur dengan senyuman di wajah mereka.