nama panggilan
part of the compass of my heart au
*
Jihoon udah nyampe di kampus, tapi dia masih diem di dalem mobilnya. Entah udah berapa lama dia diem di mobil dan nggak kunjung turun. Untungnya dia udah ada feeling hal ini bakal kejadian, jadi dia dateng jauh lebih pagi daripada jam yang udah dia janjiin sama kliennya supaya dia nggak telat.
Insting fight-or-flight Jihoon lagi kerja keras. Nggak cuman sekali-dua kali dia benturin dahinya ke setir mobilnya. Bisa aja sih, dia bilang sama kliennya kalau dia sakit mendadak, tapi waktu kliennya minta ketemu, Jihoon tahu kliennya udah cukup desperate, dan Jihoon juga ada data tambahan yang mau dia gali dari kliennya. Jadi sebetulnya nggak hanya kliennya aja yang butuh Jihoon, tapi Jihoon juga butuh kliennya.
Tapi Chanyeol.
Jihoon nggak bohong waktu dia bilang sama Soonyoung kalau dia nggak dendam atau marah sama Chanyeol. Sebelum kejadian itu, hubungan dia sama Chanyeol baik-baik aja. Temen-temen Chanyeol juga cukup banyak yang suportif sama hubungan mereka. Bahkan, sebagai pacar pertamanya, Chanyeol cukup sempurna.
Tapi Chanyeol udah terlanjur dia asosiasikan sama kenangan buruk. Jihoon masih nggak ngerti kenapa dia nggak berhak untuk Chanyeol lindungin dan kenapa dia layak buat ditinggalin sampe dia koma.
Jihoon sempet nyalahin Chanyeol. Kalau waktu itu Chanyeol ngelindungin dia, mungkin dia nggak akan sampe koma. Kalau waktu itu Chanyeol narik dia untuk kabur bareng-bareng, mungkin IPK-nya nggak akan anjlok. Semua pemikiran what-if itu bikin dia kesel dan marah sama Chanyeol.
Tapi sekarang, dia bisa lebih ngelihat sudut pandang lain. Mungkin waktu itu Chanyeol juga takut. Mungkin setelah kejadian itu Chanyeol nyesel banget; kalau nggak, untuk apa dia selalu berusaha ngedeketin Jihoon? Mungkin kalau waktu itu Soonyoung nggak terlalu protektif, Chanyeol udah minta maaf. Tapi ya, lagi, Jihoon nggak suka sama pemikiran what-if, karena apa yang udah terjadi nggak bisa dia ubah.
Makanya sebetulnya ada sisi dalem diri Jihoon yang pengen ketemu sama Chanyeol. Di kepalanya dia ngerasa butuh ketemu sama Chanyeol. Tapi perasaannya berkata lain. Waktu Jihoon ngebuka kunci pintu mobilnya untuk turun dari mobil, tangannya gemeteran. Insting fight-or-flight-nya betul-betul lagi overdrive.
Jihoon narik nafas, terus dia keluarin lewat mulutnya dengan kasar. Lama-lama dia jadi kesel sama dirinya sendiri. Belom juga seminggu sejak dia hyperventilate gara-gara kejadian sama ayahnya Seungcheol, masa dia udah mau panik lagi? Jihoon mukul kedua pipinya beberapa kali.
“Ayo, lah, Ji. Mau sampe kapan kabur?” ujarnya ke dirinya sendiri, “Ada Nyong. Ada Kang Seungcheol. Lagian dia bisa ngapain sih?”
Tapi ya, ngomong doang sih gampang.
Sebelum Jihoon bisa mempertanyakan dirinya sendiri lagi, dia buka pintu mobilnya, dia tutup, terus dia kunci biar dia nggak bisa balik lagi. Dia jalan ke arah gedung 1, terus dia sapa satpam yang lagi jaga.
Dari pintu gedung 1, Jihoon dihadapkan sama tangga besar menuju kantor administrasi dan akademik fakultas, dan dua koridor di kanan dan kirinya. Ke kanan ada perpustakaan dan WC perempuan, ke kiri ada ruang sidang S-3, ruang tunggu sidang, WC laki-laki, pantry, ruang mahasiswa, dan TBK. Jihoon tergoda untuk belok kanan atau jalan ke balik tangga, di mana ada pintu besar yang mengarah ke luar gedung 1 menuju dua gedung Fakultas Psikologi yang lain, parkiran belakang, mesjid, dan kantin.
Tapi terus dia dapet chat. Waktu dia cek HP-nya, ternyata ada dua chat; dari Soonyoung dan dari Seungcheol.
hun, aing di perpus. mun aya nanaon (kalau ada apa-apa) ping aja
ji, kalau ada apa-apa kabarin ya. semangat ketemu kliennya. love you sayang ❤️
Jihoon menghela nafas dengan lebih lega. Badannya masih tegang dan insting fight-or-flight-nya masih teriak-teriak pengen flight aja, tapi setidaknya dia udah diyakinin bahwa ada orang yang siap nangkep dia kalau dia jatuh.
Akhirnya Jihoon jalan menuju koridor di sebelah kiri.
Struktur ruangan TBK bentuknya adalah ada ruang tunggu yang terpisah dengan pintu geser dari ruang jaga. Di ruangan yang sama dengan ruang tunggu ada ruang pemeriksaan A, dan di ruangan yang sama dengan ruang jaga ada ruang pemeriksaan B. Ruang pemeriksaan C dan D ada di luar TBK, C di sebelah ruang tunggu sidang, dan D di sebelah ruang sidang S-3. Ruang jaga bisa kelihatan dari luar karena di dindingnya ada kaca dengan lubang kecil kayak kasir atau tempat pendaftaran.
Waktu Jihoon nyampe di TBK, secara nggak sadar badannya lebih rileks waktu dia hanya nemuin satu orang yang lagi jaga, dan orang itu bukan Chanyeol.
“Eh, Kak Jihoon! Pagi, Kak!”
Jihoon inget sama anak ini. Namanya Jungkook, dan dia anak majoring Pendidikan yang sempet takut sama dia gara-gara perubahan ekspresi Jihoon yang drastis setelah ketemu klien. Untungnya, setelah Jihoon mulai ngajak junior-juniornya ngobrol, kelihatannya dia udah lebih santai ngadepin Jihoon, “Pagi… Jungkook kan, ya?”
Jungkook senyum dan ngangguk, “Iya, Kak. Mau ketemu klien?”
“Iya. Kunci ruang D masih di laci?”
Jungkook ngebuka laci meja jaga dan ngasih Jihoon salah satu dari sekian banyak kunci dengan berbagai gantungan dengan nama ruangan, “Yang ini kan ya, Kak?”
“Makasih ya,” Jihoon bilang sambil senyum. Dia narik nafas sebelum dia nanya, “Sendirian aja?”
“Ada Kak Chanyeol, Kak, tapi lagi ketemu klien di A.”
Jihoon narik nafas lagi, dan dia baru ngerasain kalau badannya gemeteran, “Oh, gitu… gue ke ruangan dulu kalau gitu. Klien gue jam 11, tapi kalau ada yang nyari gue, ke D aja ya.”
“Siap, Kak.”
Jihoon nggak lari, tapi dia jalan cepet ke arah ruangan D. Setelah dia buka ruangannya, pintunya dia tutup, terus dia duduk di kursi di belakang satu-satunya meja di ruangan itu.
Ruang pemeriksaan psikologi di TBK memang pada umumnya kosong. Hanya ada satu meja, dan empat kursi, dua untuk pemeriksa, dan dua untuk klien. Di atas meja biasanya ada dua gelas air minum plus sedotannya, dan beberapa alat tulis, kayak pulpen, pensil HB, penghapus, dan pengserut pensil.
Jihoon simpen ranselnya di salah satu kursi untuk pemeriksa. Dia keluarin papan dada, alat tulis, dan beberapa lembar kertas binder kosong untuk nyatet apa yang kliennya sampein. Waktu dia lihat ke tumpukan alat tulis, biasanya ada remote AC, tapi kali ini nggak ada. Jihoon mengerang karena kesal. Dia harus balik lagi ke ruang jaga untuk ngambil remote AC.
Tapi waktu Jihoon jalan ke arah TBK, lewat kaca ruang jaga dia bisa lihat figur tinggi bermuka lonjong, bermata besar, dan berkuping mencuat ke depan. Waktu dia ketawa, Jihoon bisa lihat salah satu matanya lebih sipit daripada yang lain. Jihoon mematung di tempat. Ternyata keberanian yang Jihoon tunjukin ke Seungcheol waktu dia denger soal kemunculan Chanyeol di kehidupannya lagi hanya omong kosong, karena ngelihat Chanyeol pake matanya sendiri nggak sebanding dengan ngedenger kalau dia ada. Sekarang nggak ada hal yang bisa memungkiri kalau Chanyeol betul-betul kembali ke kehidupannya.
Nggak pake pikir panjang, Jihoon balik lagi ke ruang D.
Nggak lama setelah jam tangannya nunjukin waktu jam 11, ada yang ngetok pintu ruangannya. Jungkook buka pintunya terus dia ngintip ke dalem, “Kak, kliennya udah dateng.”
“Ya udah, suruh ke sini aja. Kook, sekalian ambilin remote AC, dong. Takut kliennya kepanasan.”
“Oke, Kak.”
***
Selama Jihoon ketemu sama kliennya, Jihoon nggak bisa bohong; dia terdistraksi. Untungnya kliennya nggak nyadar, dan apa yang mereka bicarain juga udah dia rekam atas izin kliennya, jadi Jihoon nggak akan kehilangan data apapun. Badannya ada di ruangan D, tapi pikirannya ke mana-mana.
Oke, ketemu kliennya udah. Tapi dia masih harus balikin kunci ruangan dan remote AC ke TBK. Kalau nggak ada Jungkook gimana? Kalau di ruang jaga TBK hanya ada Chanyeol, dia harus bereaksi kayak gimana?
Setelah kliennya pulang, Jihoon ngeberesin barang-barangnya. Setelah semuanya beres, dia keluarin kunci mobilnya, matiin AC di ruangan itu, terus dia keluar dari ruangan. Setelah ruangannya dikunci, dia ngintip ke arah TBK, dan badannya secara kentara jadi rileks setelah dia hanya lihat Jungkook di balik meja jaga.
“Udah beres, Kak? Tadi ngapain aja?” tanya Jungkook saat Jihoon masuk ke ruang jaga.
“Konsul doang bentar, sama ada data anamnesa yang belum lengkap,” jawab Jihoon sambil ngasih kunci dan remote AC, “Udah berapa orang yang daftar?”
“Udah 5 orang, Kak.”
Jihoon ketawa kecil, “Biasa itu mah. Semangat jaganya ya.”
Jungkook menghela nafas kayak yang capek, tapi dia terus ketawa, jadi Jihoon tahu dia hanya bercanda, “Makasih, Kak.”
“Kook, ubinya abis, jadi gue beliin tempe ya!”
Waktu Jihoon denger suara berat yang dia kira nggak akan pernah dia denger lagi, badannya menegang, matanya membelalak, dan nafasnya jadi makin cepet.
“Lah, kok nggak nyambung, Kak? Aturan beliin pisang, kek!”
“Abis, nyet. Makanya gue beliinnya yang bentuknya mirip aja.”
Jihoon udah niat kabur, tapi gimana caranya? Pintu keluar-masuk TBK dan ruang jaga TBK hanya ada satu, dan Chanyeol cukup besar untuk ngehalangin jalan keluar dia. Lagian kalau dia tiba-tiba lari, Jungkook pasti bakal bingung.
“Kook, gue duluan ya.”
“Eh, iya, Kak!”
Jihoon langsung balik badan dan nundukin kepalanya. Tapi karena dia lagi kalut, pintu TBK sempit, dan Chanyeol badannya besar, Jihoon nabrak Chanyeol dan kunci mobilnya jatuh. Jihoon buru-buru jongkok untuk ngambil kuncinya, tapi Chanyeol juga ikutan jongkok. Waktu mereka ngeraih kunci mobil Jihoon barengan, Jihoon akhirnya mendongak.
Matanya ketemu sama mata Chanyeol.
“…Uji?”
Nama panggilan itu terdengar aneh di kuping Jihoon, karena rasanya familiar dan asing pada saat yang bersamaan. Sebelum kejadian itu, semua orang manggil dia pake nama panggilan yang dibuat sama Chanyeol itu, termasuk Soonyoung. Nama itu bahkan jadi inspirasi handle Twitter-nya sampe saat ini. Tapi karena nama itu adalah hal pertama yang Jihoon inget dia denger dengan nada mengejek sebelum dia dikeroyok, dia minta semua orang untuk berhenti manggil dia pake nama itu.
Jihoon nggak pernah ganti handle Twitter-nya karena dia pikir kalau dia biasain ngebaca nama itu tanpa suara, mungkin nama itu nggak akan jadi terlalu mengganggu buat dia. Dan selama bertahun-tahun dia punya Twitter, dia udah nggak terganggu sama nama itu, karena namanya betul-betul hanya jadi display dan memang dia ngerasa sensasinya beda ketika dia hanya sekedar baca dibandingin sama ngedenger nama itu dari mulut seseorang.
Tapi sekarang, ketika pencipta nama itu nyebutin nama panggilan itu pake suara khasnya, Jihoon ngerasa usahanya selama ini kayak yang sia-sia.
Alih-alih ngejawab, Jihoon buru-buru ngambil kunci mobilnya, dan dia lari keluar.
***
Soonyoung khawatir.
Menurut Soonyoung, kekhawatirannya tergolong wajar. Jihoon udah kayak saudara kandungnya sendiri. Soonyoung tahu kalau Jihoon bukan anak kecil, tapi dia jadi saksi waktu Jihoon ada di titik terendahnya. Dia juga ngelihat gimana Jihoon berangsur-angsur membaik; gimana Jihoon mulai membuka diri sama temen-temen mereka dan gimana Jihoon ngasih kesempatan buat Seungcheol untuk nempatin hatinya.
Belum lagi, sekarang ada kemungkinan kalau Jihoon harus ketemu sama salah satu orang yang bertanggung jawab atas kehancuran Jihoon. Emang sih, selama mantannya masih hidup, akan selalu ada kemungkinan Jihoon bakal ketemu lagi sama mantannya, tapi sekarang kemungkinannya jadi jauh lebih besar karena mereka satu kampus. Apa salah kalau Soonyoung khawatir?
Soonyoung hanya nggak mau usaha yang udah Jihoon lakuin selama bertahun-tahun hancur berkeping-keping gara-gara kemunculan satu makhluk brengsek. Oke, mungkin dia berlebihan, karena Jihoon ngak selemah itu, tapi Soonyoung nggak mau menutup kemungkinan itu. Dia, dan Seungcheol, bakal mastiin bahwa usaha Jihoon untuk ngerasa lebih baik nggak akan sia-sia.
Soonyoung adalah tipe orang yang kalau cemas dia nggak bisa diem. Selama di perpustakaan, dia nggak bisa fokus ngerjain laporan dan akhirnya dia main Solitaire di laptopnya sambil nungguin kabar dari Jihoon.
Waktu jam di laptopnya nunjukin jam 11:45, Soonyoung ngecek HP-nya lagi dan dia nggak nemuin ada chat dari siapapun. Karena sebentar lagi juga perpustakaan bakal istirahat, dia beresin barang-barangnya. Lagian dia juga nggak cukup fokus buat ngerjain apapun.
Pas banget Soonyoung keluar dari perpustakaan, dia lihat Jihoon lari ke parkiran depan. Panik, Soonyoung ngejar dia sampe ke mobilnya.
“Hoon!”
Saking kagetnya, Jihoon beneran loncat sedikit dan kunci mobilnya jatuh dari pegangannya. Mungkin karena kaget juga, tapi air mata mulai turun dari mata Jihoon. Soonyoung ngambilin kunci mobil Jihoon saat Jihoon nyenderin dahinya ke jendela mobilnya.
“Nyong…” isak Jihoon.
“Mau pergi dari sini? Gue bonceng ya? Ke kosan gue aja dulu. Mobil lo tinggal di sini, nanti gue anter balik ke sini kalau lo udah mau pulang,” usul Soonyoung, “Nanti gue yang kabarin ke Kak Cheol. Yuk.”
Jihoon kayaknya udah nggak punya tenaga untuk ngomong apa-apa lagi. Dia ngebiarin Soonyoung narik dia ke arah parkiran motor, yang ada di samping parkiran mobil. Soonyoung sebetulnya khawatir Jihoon terlalu lemes untuk pegangan sama dia selama dia bonceng, tapi dia nggak punya pilihan lain. Untungnya, waktu Jihoon duduk di belakang Soonyoung, dia langsung ngelingkarin lengannya ke perut Soonyoung erat-erat dan nempelin kepalanya ke punggung Soonyoung.
Waktu Soonyoung bawa motornya ngelewatin depan pintu besar gedung 1, dia lihat Chanyeol, ngelihat kanan-kiri kayak yang nyari orang. Waktu mata Chanyeol ketemu sama mata Soonyoung di balik kaca helm, Soonyoung memandang Chanyeol dengan semua kebencian yang bisa dia keluarin sebelum dia fokus ngelihat ke arah jalanan.