memilih untuk bahagia

a what-if scene from compass of my heart au. set after konsekuensi

Jihoon ingat waktu Seungcheol kembali meminta kesabaran Jihoon untuk menunggunya sampai dia bisa mendapatkan pekerjaan tetap dan tempat tinggal sendiri. Meskipun saat ini dia tinggal dengan ibunya di apartemen baru mereka, Seungcheol sudah memutuskan untuk hidup mandiri segera setelah mendapatkan pekerjaan. Jadi, setahu Jihoon, saat ini Seungcheol bukan hanya sedang mencari pekerjaan, tapi juga apartemen baru. Tekadnya sudah sangat bulat, sampai-sampai ibunya harus memaksa Seungcheol untuk menerima uang untuk membayar sewa apartemennya, setidaknya untuk tiga bulan pertama.

Selama Seungcheol mencari kerja, bisa dibilang keadaan mereka kembali seperti ketika Seungcheol sedang membantu kakaknya untuk membongkar korupsi ayah mereka, hanya lebih parah. Semua pesan Jihoon hanya dibaca, dan tidak dibalas. Bahkan ketika Jihoon lulus ujian tesis pun kehadiran Seungcheol hanya digantikan oleh sebuah buket coklat (karena Seungcheol tahu Jihoon benci mendapatkan bunga hidup sebagai hadiah) dengan ucapan selamat yang terlihat ditulis secara terburu-buru.

Singkat cerita, setelah tiga bulan tidak ada kontak, Jihoon kaget waktu Seungcheol mendadak meminta untuk bertemu untuk membicarakan sesuatu yang penting dan membutuhkan privasi. Setelah mereka menyetujui untuk bertemu di rumah Jihoon, percakapan mereka berhenti di situ. Fakta itu sendiri membuat Jihoon merasa ada yang janggal. Dia tahu kekasihnya merupakan individu yang sangat hangat, namun respon yang ia berikan terkesan sangat dingin.

Saat Seungcheol tiba di rumahnya, kejanggalan itu semakin kentara di mata Jihoon. Di mata orang awam, Seungcheol mungkin tidak terlihat jauh berbeda. Mungkin dia terlihat sedikit lebih lelah dari biasanya, karena kantung matanya yang sepertinya tidak pernah mengempis, tapi itu saja. Tapi Jihoon, yang memiliki kemampuan observasi dan ilmu pernyataan yang menurutnya lebih tinggi dari orang lain, bisa melihat kalau ada sesuatu yang membuat Seungcheol sedih. Bahkan senyuman yang Seungcheol berikan ketika mata mereka bertemu di ruang tamu terlihat terpaksa.

Dari semua dugaan yang Jihoon miliki mengenai apa yang menjadi masalah Seungcheol, Jihoon sama sekali tidak siap dengan kata-kata yang muncul dari mulut kekasihnya setelah mereka sudah ada di dalam keamanan kamar Jihoon yang kedap suara.

“Hah? Kamu barusan ngomong apa?”

Seungcheol menghela nafas berat, “…kita putus ya,” ulangnya.

Kepala Jihoon seketika dipenuhi white noise, seperti sebuah TV yang sedang rusak. Dia bingung. Dia kaget. Dia sedih. Perasaannya bercampur aduk. Hanya satu kata yang jelas terdengar di kepalanya: Kenapa?

“Kang… kamu kok gini, sih? Kenapa?” tanya Jihoon, matanya mulai berkaca-kaca. Dia berusaha menahan supaya suaranya tidak bergetar, supaya Seungcheol tidak tahu kalau sedikit lagi dia akan menangis. Dalam benaknya, itu yang membuat Jihoon tahu seberapa sayangnya dia pada Seungcheol: bahkan ketika Seungcheol sedang (mungkin tanpa sengaja) menyakitinya sekalipun, Jihoon masih tetap berusaha agar Seungcheol tidak mengkhawatirkan dirinya.

Ya, antara sayang dengan bodoh memang beda tipis.

“Aku…” Seungcheol memulai, suaranya bergetar. Suara itu membuat mata Jihoon semakin dipenuhi air. Kalau kita sama-sama terluka, terus tujuan percakapan ini apa? batin Jihoon, “Aku nggak yakin bisa bahagiain kamu, Ji…”

Jihoon menghela nafas dengan kasar, dan dengan helaan nafasnya, setitik air mata jatuh mengalir di pipinya, “Kang, it’s not like you to say that. Kamu yang terus-terusan nyuruh aku nungguin kamu! Terus udah aku tungguin lama-lama, kamu ngomongnya kayak gini?! Bercanda kamu?!”

“Ji…” panggil Seungcheol, “Maaf, Ji…”

“Jangan cuma minta maaf, jelasin!” tuntut Jihoon, yang mencoba menutupi kesedihannya dengan amarah.

Seungcheol menarik nafas dengan bergetar. Sejak awal percakapan, kepala Seungcheol tertunduk, seakan menolak matanya dipertemukan dengan mata Jihoon, “Ada oknum yang nyebarin informasi ke banyak rumah sakit kalau aku itu anak Ayah. Bahkan aku udah ditolak sama banyak rumah sakit cuma gara-gara hal itu. Mungkin mereka takut aku kayak Ayah kali ya… salah satu rumah sakit itu katanya ada yang bakal nolak semua orang yang berhubungan sama keluarga Ayah… kalau sampe kamu juga kena karena mereka tahu hubungan kita… kalau kamu nggak bisa ngewujudin mimpi kamu gara-gara aku… aku nggak tahu lagi harus gimana, Ji…”

Jihoon melihat Seungcheol dengan tatapan tidak percaya, “…gitu doang?”

Seungcheol mendongak dan melihat Jihoon dengan tatapan bingung, namun kekesalan juga terpancar di netranya, “Nggak ‘gitu doang’, Ji, aku serius.”

“Kamu tuh kebiasaan deh, kalau ada masalah dihadapin sendiri. Dulu juga gitu. Kamu kecapean, kurang tidur, terus tahu-tahu pingsan. Padahal kamu punya temen banyak, kamu juga punya aku yang nggak cuma sekali-dua kali nawarin untuk minimal dengerin masalah kamu. Aku bukannya nggak percaya sama kemampuan kamu, tapi kamu tuh suka lupa kalau kamu tuh nggak perlu ngadepin semuanya sendiri.

“Kamu mungkin gengsi, karena semua orang ngenilai kamu kuat, tapi ngakuin kamu butuh pertolongan terus minta tolong itu bukan berarti kamu lemah. Hal ini tuh bisa kita diskusiin bareng, Kang, bukannya kamu ngambil keputusan sepihak kayak gini. Kamu jangan sok ngelindungin aku padahal akhirnya kita berdua sama-sama sedih.

“Kamu cemas. Oke, kita akuin itu. Tapi kamu jangan sembarangan ngambil keputusan buat aku. Kamu pikir aku bakal bilang, ‘oh, ya udah, kita putus aja’ dengan penjelasan kayak gitu? Kalau kamu emang mikir gitu, berarti kamu betul-betul ngerendahin rasa sayang aku buat kamu, Kang.”

Nafas Jihoon terengah-engah setelah omelan panjangnya. Seungcheol kembali menundukkan kepalanya, titik-titik air mata yang mendarat di atas kasur Jihoon satu-satunya bukti bahwa air mata Seungcheol masih belum berhenti.

“Kalau kamu emang ditolak sama rumah sakit, emangnya kamu nggak punya jalan lain? Seorang Choi Seungcheol, nggak punya plan B sampe Z? Mana mungkin? Psikolog nggak cuman dibutuhin di rumah sakit, Kang. Kamu bisa buka praktik pribadi, bisa ikut biro dosen kita, bisa bikin biro sama temen-temen kita, bisa ke puskesmas. Kamu bahkan ditawarin kerja di bironya Kang Pras bareng Kak Josh.

“Terus mimpi aku juga bukan sekedar pengen kerja di rumah sakit; aku hanya pengen bisa nolong banyak orang, dan itu pun jalannya nggak cuma lewat rumah sakit aja. Tapi kamu tahu semua ini. Kamu hanya terlanjut fokus sama yang negatif karena kamu lagi kalut. Aku ngerti banget perasaan itu, tapi kok kamu nggak cerita?

“Lagian,” lanjut Jihoon tegas, “Aku nggak pernah minta kamu untuk bahagiain aku. Yang nentuin kebahagiaan aku itu aku, dan hanya aku. Dan aku udah milih untuk bahagia sama kamu, Kang,” pada titik ini, suara Jihoon mulai serak karena air mata sudah mulai membasahi pipinya dengan lebih deras, dan Jihoon sudah tidak bisa menyembunyikannya, “Jadi tolong… jangan bilang sesuatu yang hanya bakal nyakitin kita berdua. Jangan hukum diri kamu sendiri atas kesalahan ayah kamu. Hanya ayah kamu yang perlu bertanggung jawab atas kesalahan dia; kamu nggak perlu.”

Jihoon memperhatikan Seungcheol yang tangisannya semakin menjadi, tapi yang paling menyakitkan bagi Jihoon adalah Seungcheol sama sekali tidak mengeluarkan suara apapun selama dia menangis. Jihoon mengulurkan tangannya untuk menyeka air mata Seungcheol.

“Aku sayang banget sama kamu, Kang. Cinta sama kamu. Kamu yang baik, kamu yang susah banget buat minta tolong, kamu yang selalu ngedahuluin orang lain sebelum diri kamu sendiri… aku suka semuanya. Aku maunya bahagia sama kamu, Kang, nggak mau sama yang lain…” isak Jihoon.

“…aku juga cinta sama kamu, Ji. Aku nggak mau lihat kamu sama orang lain,” Seungcheol mengaku, “Maafin aku, Ji. Kamu bener. Aku cuma ngehukum diri aku sendiri. Aku capek banget sama semuanya. Secara fisik aku capek, tapi mental aku lebih capek lagi… Ngelihat Ibu kecapean ngejalanin proses perceraian, nyari tempat tinggal, harus ketemu sama orang ini-itu, harus packing segala rupa buat pindahan, setiap aku minta penjelasan Ayah beliau diem aja, terus berulang kali gagal dapet kerjaan hanya gara-gara aku anak ayah aku, mana wisuda aku sempet hampir diundur gara-gara kurang tanda tangan Mas Pur… aku udah mikir, mungkin emang aku nggak berhak dapet hal bagus di hidup aku. Makanya biar kamu juga nggak kena jeleknya hidup aku… aku ngomong gitu…”

Jihoon paham perasaan Seungcheol. Memang, kekasihnya cukup unik. Dari semua orang yang Jihoon kenal, dia bisa dengan mantap mengatakan bahwa Seungcheol memiliki lebih banyak empati daripada orang lain. Seungcheol sangat memahami perasaan orang lain, hingga dia bisa merasakan perasaan tersebut sekuat orang yang merasakannya. Bukan hal aneh kalau Seungcheol akhirnya mengalami burn out karenanya.

“…kamu pasti capek banget, Kang, kalau kamu sampe nilai diri kamu sejelek itu. Nggak biasanya kamu kayak gini. Biasanya kamu yang selalu ngingetin sebaik apa kita, gimana kita semua berhak untuk bahagia… tapi nggak ada yang ngingetin hal yang sama ke kamu,” Jihoon menarik Seungcheol lebih dekat, agar dia bisa melingkarkan lengannya di tubuh lelaki yang lebih besar itu, “Tapi justru karena itu kamu berhak bahagia, Kang. Kamu itu orang baik; kamu hanya kebetulan punya ayah yang nggak baik. Kamu sering banget ngorbanin diri kamu untuk kebahagiaan orang. Sekarang giliran kamu bahagia, Kang.”

Seungcheol membalas pelukan Jihoon dengan lebih erat dan membenamkan mukanya di rambut Jihoon, “Aku juga mau bahagia sama kamu, Ji. Maafin aku. Itu tadi semuanya cuma omong kosong.”

Jihoon terdiam di dalam pelukan Seungcheol sambil mendengarkan detak jantung kekasihnya. Orang boleh mengatakan bahwa Jihoon hanya berhalusinasi, tapi sungguh, Jihoon merasa bahwa tempo detak jantung mereka sama persis. Awalnya cepat akibat percakapan bodoh yang baru mereka lakukan, namun sekarang lebih melambat setelah mereka berdua menyadari kekonyolan omongan Seungcheol dan menjadi tenang di pelukan satu sama lain.

Jihoon melepaskan diri dari dekapan Seungcheol dan menyeka air mata yang mengalir di pipinya sambil memandang kekasihnya dengan tatapan penuh kejengkelan, “Aku tahu kamu lagi capek, tapi jangan bego, dong. Kamu sendiri tahu kamu lagi capek, malah bikin keputusan gede. Nangis kan jadinya?”

Seungcheol tertawa, suaranya serak, “Iya, Ji. Maaf ya.”

“Masih mau putus?”

“Nggak mau…”

“Aku juga nggak mau. Jangan macem-macem lagi,” Jihoon berkata dengan tegas, “Soal kerjaan, kamu nggak usah terlalu terburu-buru. Nggak usah nuntut diri sendiri terlalu keras. Sekarang kamu istirahat, biar kepalanya lebih clear. Kalau udah tenang, kita bisa diskusiin apa yang bisa kamu lakuin.”

“Oke.”

“Maaf aku tadi ngebentak ya, Kang… sebenernya aku tuh sedih, tapi keluarnya jadi marah-marah… maaf juga kalau aku nyinggung perasaan kamu.”

“Nggak apa-apa, Ji. I needed that,” Seungcheol lalu tertawa miris, seakan-akan menertawakan dirinya sendiri, “Aku mau ngebantah juga nggak bisa, soalnya semua yang kamu bilang itu bener…” Seungcheol menghela nafas panjang. Ketika ia membuang nafasnya, setitik air mata yang masih tersisa mengalir di pipinya. Ia segera menyekanya, dan menarik nafas yang masih tersedan-sedan lewat hidungnya. Seungcheol lalu memberikan Jihoon sebuah senyuman yang penuh cinta, meskipun matanya masih merah setelah menangis, “Apa jadinya aku kalau nggak ada kamu, Ji?”

Jihoon tersipu ketika ia tiba-tiba diserang oleh senyuman dari Seungcheol. Meskipun matanya agak bengkak dan terlihat sembab, tidak bisa dipungkiri kalau hal-hal tersebut tidak mengurangi ketampanan pacarnya, “Ya mana aku tahu, Kang…”

“Aku pernah bilang sama Ibu… kamu tuh kayak kompas. Soalnya setiap aku lagi tersesat, pasti kamu yang nunjukin jalan keluarnya. Kalau nggak ada kamu, aku bakal terus-terusan terjebak, Ji.”

Jihoon tidak bisa menahan senyuman kecil yang tersungging di bibirnya. Ia diam-diam mengutuk Seungcheol yang memberikan kata-kata yang menyentuh hatinya ketika kantung air matanya masih sangat sensitif, sehingga air mata haru dengan mudah menetes dari matanya.

Jihoon menarik nafas dalam-dalam sebelum ia berbicara, “Kamu juga selalu bisa ngebawa aku keluar dari masalah aku, Kang. Kamu yang selalu ngasih aku dorongan yang aku butuhin supaya aku bisa ngelangkahin kaki aku buat mulai ngeberesin masalah aku. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku nggak akan berani nge-confront Kang Chanyeol.”

Seungcheol kembali memberikan sebuah senyuman yang penuh cinta, namun kini Jihoon membalas dengan senyuman serupa. Tanpa berkata-kata, mereka mendekatkan muka mereka ke satu sama lain, dan bibir mereka bertemu di tengah. Ciuman mereka tidak dalam. Bibir mereka hanya menekan satu sama lain, tidak terlalu lembut tapi juga tidak terlalu memaksa.

Tanpa memisahkan bibir mereka terlalu jauh, Seungcheol berbisik, “Mungkin kesannya egois, tapi aku pengen kamu jangan ke mana-mana ya, Ji.”

Sebelum membalas kata-kata Seungcheol, Jihoon memberikan kecupan singkat di bibir kekasihnya, “Aku dari dulu di sini, Kang. Emang aku mau ke mana? Lagian aku juga pengen kamu nggak ke mana-mana. Di sini aja.”

Jihoon tidak pernah menspesifikasikan di mana “di sini” yang dia maksud. Tapi Seungcheol tidak perlu bertanya, dan Jihoon tidak perlu menjelaskan. Tanpa harus banyak berkata-kata, mereka sudah memahaminya.

author’s note: beberapa bagian di scene terakhir mungkin agak familiar soalnya aku recycle buat ending scene di narasi paling terakhir hohoho