masa depan, pt. 2

part of the compass of my heart au

It was a beautiful ceremony.

Kalau ditanya dia nangis apa nggak, Jihoon nggak akan pernah ngaku, tapi waktu Joshua dan Jeonghan akhirnya resmi jadi pasangan suami-suami di upacara tadi pagi, ada setitik-dua titik air mata yang lolos.

Meskipun hari udah menjelang sore dan secara resmi resepsi sudah selesai, afterparty lagi berlangsung; partisipannya hanya temen-temen dan keluarga terdekat Joshua dan Jeonghan. Setelah resepsi berakhir, semua orang diberikan waktu untuk ganti baju dari baju formal ke baju semi-formal. Meskipun sebenernya Jihoon udah agak lelah karena udah stand-by dari jam 5 pagi untuk nemenin Joshua dandan, anehnya dia lebih memilih untuk istirahat di pinggir area resepsi daripada di kamarnya.

Mumpung semua teman-temannya lagi ada di satu tempat yang sama, dia nggak mau kelewatan serunya nontonin tingkah mereka. Dan Jihoon nggak menyesali keputusannya sama sekali.

Dari posisinya di pinggir area resepsi yang menghadap ke arah laut, Jihoon bisa lihat Minghao narik Mingyu untuk dansa, terus dia juga narik Seokmin. Jun kelihatan lagi ngerekam kehebohan mereka. Ada Seungkwan dan Vernon yang ngetawain mereka, dan di salah satu meja dia bisa lihat Chan dan pacarnya, Minhyuk, lagi makan. Soonyoung dan Wonwoo kelihatan lagi ngantri untuk ngambil kebab. Para pengantin lagi slow dancing meskipun lagu yang lagi dipasang bergenre jazz, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Karena emang hari ini hari pernikahan mereka, Jihoon bisa memaklumi.

Dia nggak bisa nemuin pacarnya. Selama seharian ini Jihoon nggak sempet untuk menghabiskan waktunya sama Seungcheol sama sekali, soalnya Seungcheol banyak ditarik sana-sini sama Jeonghan, Joshua, keluarga mereka berdua, dan juga teman-teman SMA dan S-1 mereka.

Jihoon menghela nafas panjang sambil menyandarkan badannya ke railing marmer yang membatasi ujung tebing, memandangi laut sambil ngerasain angin pantai. Tanpa permisi, angin dingin itu menusuk ke dalam tulangnya, dan badannya bergetar kedinginan.

Nggak lama kemudian badannya jadi hangat lagi karena sepasang lengan yang melingkar di depan dadanya, badan besar yang menempel di punggungnya, dan dagu yang mendarat di puncak kepalanya. Tanpa perlu balik badan sekalipun Jihoon udah tahu siapa yang berani meluk dia dari belakang hanya dari wangi parfumnya yang tajam.

“Dagu kamu tajem ih, Kang, sakit,” omel Jihoon.

“Sori,” Seungcheol ketawa sambil mengangkat dagunya dari kepala Jihoon, tapi badannya nggak menjauh, “Dingin?”

“Dikit,” jawab Jihoon sambil menyandarkan badannya ke badan Seungcheol, menikmati tambahan suhu tubuh dari pacarnya.

“Kamu udah makan belum? Itu ada kambing guling loh.”

“Kambing guling aku udah makan dua porsi, Kang. Kalo nambah lagi yang ada aku kolesterol.”

Seungcheol ketawa, “Jangan dong. Cola mau?”

Jihoon ngangkat gelas kecil yang berisi cola yang masih belum dia abisin dari atas railing, “Masih ada. Udah nggak usah kemana-mana, di sini aja.”

Lalu mereka terdiam. Suara yang mengisi ruang mereka sebetulnya ada banyak; mulai dari musik, hiruk-pikuk temen-temen mereka, sampai ombak laut. Tapi semua suara itu terkesan teredam di kuping Jihoon. Yang masuk ke kupingnya hanya suara nafas dan detak jantung mereka berdua.

“Bagus ya tempatnya,” Seungcheol berkomentar.

Jihoon ngangkat bahunya, “Bagus sih, tapi kebanyakan sinar matahari.”

Seungcheol ketawa, “Iya deh, vampir.”

“Tapi lumayan luas sih. Apalagi kalau nggak pake pelaminan, jadi bisa mingle sama tamu kayak gini…”

Perkataan Jihoon dia cukupkan sampe di situ. Dia udah mulai ngerasain pembicaraan ini bakal menjurus ke mana, dan dia masih agak takut Seungcheol belom siap untuk ngebahasnya. Makanya waktu Seungcheol ngelanjutin dengan nanyain pendapatnya soal makanan dan baju para pengantin dan best men-nya, Jihoon agak kaget, tapi lama kelamaan dia makin rileks.

Bisa jadi, bisa jadi, mereka punya visi yang sama. Tapi Jihoon nggak tahu apa yang sebenernya ada di kepala Seungcheol.

“Kalau musiknya?”

Jihoon menggigit bibir bawahnya sebelum ngejawab, “Band-nya oke. Tapi lagu-lagunya cliché.”

“Ya iya sih, kalau nikahan lagunya pasti itu-itu lagi.”

“Pengen nyari band yang bisa bawain lagu bikinan aku tapi kasian juga latihannya harus dari lama,” Jihoon menghela nafasnya, “Paling juga ujung-ujungnya pake rekaman terus minta anak-anak nyanyi.”

“Kalau kamu minta pasti pada mau sih. Tapi kalau Jeonghan pasti minta bayaran.”

“Emang matre banget dia mah,” Jihoon geleng-geleng, dan mereka berdua ketawa.

Hening lagi.

“Jadi… jangan outdoor, nggak perlu pake pelaminan, makanannya banyakin nasinya, jangan daging semua, setelannya warna gelap, yang dibedain boutonniere-nya aja. Buat anak-anak dikasih sapu tangan warna sama, nggak ada best men juga nggak apa-apa. Terus musiknya pake buatan kamu,” Seungcheol berkomentar, seakan ngerangkum hasil ‘diskusi’ mereka.

Jihoon hanya ngangguk-ngangguk.

“Terus abis nikah mau ngapain?”

Jihoon nyengir, “Kalau kamu ujung-ujungnya mau ngajak ngamar males aku jawabnya.”

Seungcheol ketawa sambil ngejitak kepala Jihoon pelan, “Yang otaknya ngeres siapa sih?”

Jihoon ketawa, tapi terus dia diem, mikir, “Abis nikah… pengennya sih punya tempat tinggal buat berdua. Kayaknya sih Mama bakal minta aku tinggal di rumah dulu, tapi masih bisa didiskusiin sih harusnya. Tapi kalau tempat tinggalnya kamarnya cuma satu, kayaknya alat-alat rekaman harus aku simpen dulu di rumah sampe bisa beli rumah atau nyewa apartemen yang ada kamar lebih dari satu.”

“Terus kamu gimana kalau mau bikin lagu?”

“Ya kan bisa sebulan sekali atau dua kali pulang. Aku kan ada kerjaan di Bandung, jadi pasti nggak akan pindah kota. Lagian di laptop masih ada program buat bikin draft kasar. Kalaupun emang bener-bener nggak bisa bikin lagu, ya pasangan aku harus pinter-pinter aja ngehibur aku,” Jihoon ngejelasin sambil nyengir, “Kalau kamu gimana?”

“Aku? Aku sih gimana pasangan aku aja. Kalau mau tinggal di apartemen aku bisa, kalau mau nyari apartemen baru juga bisa, mau tinggal di rumah mertua juga ayo. Aku sih fleksibel; yang penting aku sama pasangan tinggal di bawah satu atap aja.”

Lagi, Jihoon ngangguk. Sebetulnya sejak tadi, jantung Jihoon berdebar-debar setiap kali topik baru diangkat, tapi ada satu topik lagi yang perlu Jihoon tahu.

“Kalau anak mau punya nggak?”

“Hmm…” Jihoon dengar Seungcheol bergumam, “One day, maybe? Aku sih realistis aja; not in the first, like, two years of marriage. Sejauh ini gaji aku masih nggak jelas, karena emang aku digajinya kan per sesi per klien. Tapi selama aku sama pasangan aku bisa nyisihin uang emang untuk punya anak, ya aku mau. Kamu gimana?”

“Sama sih… keuangan masih nggak jelas, apalagi kalau masih baru mulai kerja gini yang gajinya bener-bener belom tentu dapet. Tiap bulan harus pinter-pinter hemat juga biar bisa survive. Kan kasian kalau aku punya anak terus nggak bisa ngasih makan gara-gara bulan ini emang kliennya sedikit,” Jihoon ngejelasin.

Terus mereka hening, sampai Seungcheol memecah keheningan itu.

“Terus… mau sama siapa?”

Jihoon mengernyitkan dahinya, “Apanya?”

“Nikahnya. Tinggal barengnya. Punya anaknya.”

Jantung Jihoon kembali berdebar kencang. Dia bingung, mau ketawa atau nangis, karena bibirnya udah mulai senyum tapi matanya mulai dipenuhi air. Untuk ngalihin perhatiannya supaya nggak nangis, dia fokus ngelihat ke arah laut.

“Nggak tahu,” akhirnya dia jawab dengan pelan.

Jihoon ngerasain lengan kanan Seungcheol dilepas dari pelukannya. Jihoon galau pengen lihat Seungcheol lagi ngapain, tapi juga nggak mau perhatiannya pindah ke hal lain selain laut, takut air matanya beneran jatuh.

Tapi terus lengan kanan Seungcheol balik lagi meluk badannya. Di tangannya ada kotak beludru warna biru tua. Bahkan di balik pandangannya yang buram gara-gara air mata, Jihoon bisa lihat tangan Seungcheol bergetar waktu jempolnya dia pake untuk ngebuka kotak kecil itu.

“Kalau sama aku mau nggak?” Jihoon denger Seungcheol nanya, suaranya bergetar.

Di sini, Jihoon ngebiarin emosinya keluar. Dia ketawa, tapi juga nangis. Dia genggam erat lengan Seungcheol yang masih ngelingkarin badannya. Dalam prosesnya, tanpa sadar dia nutup kotak kecil yang berisi cincin warna hitam dengan border warna silver dan sebuah berlian kecil tertanam tepat di tengahnya. Dia tarik lengan Seungcheol supaya pria yang lebih tua itu memeluknya lebih erat.

Jihoon ketawa sedikit, terus dia bilang, “Jadi ini yang ditungguin sama ayah kamu teh?”

“Iya. Aku udah deg-degan tahu, takut Ayah malah ngebocorin rencana aku.”

Lagi, Jihoon ketawa, “Emangnya udah dapet izin Papa sama Mama?”

“Udah kok.”

“Sejak kapan?”

“Sebelum kamu ujian tesis. Waktu kamu ngerjain tesis sama Soonyoung.”

“Anjir, pake kongkalikong segala sama Soonyoung…” Jihoon geleng-geleng sambil ketawa, terus dia nanya, “Kok nanyanya nggak liat aku? Ajarannya Kang Mamat kan kalo ngobrol sama orang harus eye contact yang bagus biar omongannya nyampe.”

Seungcheol membalas dengan sebuah tawa kecil, “Jelek banget aku sekarang, Ji. Malu, ah.”

Tawa Jihoon lebih keras kali ini, dan lebih terdengar basah, “Kan aku udah bilang…” dia mulai sambil balik badan untuk menatap Seungcheol yang – mungkin secara objektif – mukanya agak berantakan gara-gara nangis, tapi bagi Jihoon, nggak ada laki-laki lain di dunia ini yang lebih ganteng daripada Seungcheol pada saat ini, “…mau lagi belekan, lagi marah, baru bangun, lagi mewek… kamu tuh nggak pernah jelek. Apalagi sekarang, pas lagi ngelamar aku.”

Seungcheol ketawa, suaranya agak serak, terus dia geleng-geleng kepala, “Ampun deh, kamu tuh pinter banget ngomongnya,” terus dia berdehem supaya suaranya lebih jelas, terus dia ngangkat tangan yang masih megang kotak beludru berisi cincin, “So?

Jihoon ketawa, meskipun ketawanya masih basah gara-gara muncul lagi air mata di pelupuk matanya, terus dia ngangkat bahu sambil ngangguk, “Let’s do it.

Seungcheol ketawa meskipun air matanya jadi makin deras. Jihoon juga ketawa. Dia yakin saat ini keadaan mukanya sama persis kayak pacarnya. Seungcheol terus ngambil cincin yang ada di dalem kotak, dan dengan tangan bergetar, dia pasangin cincin itu di jari manis tangan kiri Jihoon.

Jihoon memandangi tangan kirinya, takjub. He’s engaged. To the best person he could ever imagine. Kayak mimpi rasanya.

“Kayak mimpi,” gumam Seungcheol tiba-tiba, membuat Jihoon agak kaget karena baru saja kata-kata yang sama terbersit di benaknya. Seungcheol lalu mencium cincin yang sudah terpasang di jari manis Jihoon, dan dia tahan bibirnya di situ sambil berkata, “Makasih ya, Ji… I swear I’ll make you happy.

Jihoon mengambil kesempatan ini untuk mengelus kepala Seungcheol yang biasanya terlalu tinggi untuk dia raih, “Aku nggak akan pernah minta kamu ngebahagiain aku, Kang. Kebahagiaan aku itu tanggung jawab aku. Dan aku udah milih untuk bahagia sama kamu. Selama aku bisa hidup sama kamu, aku yakin aku bakal bahagia.”

Seungcheol lagi-lagi menggelengkan kepalanya sambil tertawa, “Bener-bener pinter banget ngomong. You always know what to say,” ujar Seungcheol sebelum mencium bibir Jihoon dengan lembut. Setelah dia lepas ciumannya, dia menempelkan dahi mereka, lalu berbisik, “Aku juga bahagianya hanya sama kamu, Ji. Kita bahagia berdua sampe tua, ya.”

Jihoon ngangguk sambil nyengir, “Aku kalau udah tua kayaknya bakal jadi cranky grandpa, nggak apa-apa?”

“Kamu kalau lagi ngambek jadi makin gemes, jadi nggak apa-apa. Aku makin tua makin garing ngelawaknya kayaknya, nggak apa-apa?”

“Selera humor kamu nggak akan lebih jongkok daripada aku sih kayaknya.”

“Oh, jadi nyadar ya kalau selera humor kamu tuh jongkok.”

“Ya diingetin melulu sama kamu sama Soonyoung, gimana mau nggak tahu?”

Mereka tertawa, lalu lama kelamaan tawa mereka mereda. Seungcheol lalu berkata, “Kalau aku makin tua tapi tetep pengen ngelakuin semuanya sendirian, kamu tegur aku ya, Ji.”

“Nggak usah kamu minta juga pasti aku tegur kok. Lagian kamu akhir-akhir ini udah lebih mau minta tolong, jadi kalau udah tua pasti bakal jauh lebih jarang dong kamu ngerjain segala macem sendirian,” timpal Jihoon.

Seungcheol terkekeh, “Iya sih.” Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya dia memberikan Jihoon sebuah senyuman yang penuh cinta, “Apa jadinya aku kalau nggak ada kamu, Ji…”

Jihoon tersipu waktu dia tiba-tiba diserang senyuman dari Seungcheol. Meskipun matanya agak bengkak dan terlihat sembab gara-gara habis menangis, nggak ada yang bisa memungkiri kalau hal-hal tersebut sama sekali nggak mengurangi kegantengan tunangannya (tunangan!! Ya ampun, Jihoon mau pingsan rasanya), “Ya mana aku tahu, Kang…”

Seungcheol tertawa kecil, “Aku pernah bilang sama Ibu… kalau aku nggak ada kamu, aku tuh kayak orang tersesat nggak punya kompas. Soalnya tiap kali aku lagi tersesat, pasti kamu yang nunjukin jalan keluarnya, Ji.”

Jihoon tidak lagi bisa menahan senyuman kecil di bibirnya. Ia diam-diam mengutuk Seungcheol yang memberikan kata-kata yang menyentuh hatinya waktu kantung air matanya masih sangat sensitif, sehingga air mata haru dengan mudah menetes dari matanya.

Jihoon menarik nafas dalam-dalam sebelum ia berbicara, “Kamu juga selalu bisa ngebawa aku keluar dari masalah aku, Kang. Kamu yang selalu ngasih aku dorongan yang aku butuhin supaya aku bisa mulai gerak untuk ngeberesin masalah aku. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku nggak akan pernah berani untuk ngobrol sama Kang Chanyeol.”

Seungcheol kembali memberikan sebuah senyuman yang penuh cinta, tapi sekarang Jihoon membalas dengan senyuman serupa. Tanpa berkata-kata, mereka mendekatkan muka mereka ke satu sama lain, dan bibir mereka bertemu di tengah. Ciuman mereka tidak dalam. Bibir mereka hanya menekan satu sama lain, tidak terlalu lembut tapi juga tidak terlalu memaksa.

Tanpa memisahkan bibir mereka terlalu jauh, Seungcheol berbisik, “Sampe tua juga aku bakal makin cinta sama kamu, Ji. Aku yakin.”

Jihoon menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis, “Aku juga, Kang. Nggak ada orang yang bakal aku cinta lebih dari kamu.”

Saat matahari mulai terbenam, bibir Seungcheol dan Jihoon kembali bertemu.

in front of us is dark, it's so dark i'll take out the compass of my heart, yeah

even if the swaying compass is frustrating, if we are together even if we can’t know, we would know

even though my every day doesn’t go to my own accord and becomes blurry like smoke there are many paths in front of me

even if the world revolves the other way we won’t lose our way and we will walk it properly let's go together

seventeen – 같이 가요 (together)