lima belas menit, take five
part of the compass of my heart au
Udah empat kali Seungcheol ngelewatin pintu yang sama, duduk di kursi yang sama, nunggu di ruangan yang sama untuk orang yang sama. Meskipun petugas yang membawa orang tersebut biasanya beda, tapi beberapa petugas udah ada yang hafal sama Seungcheol yang hampir setiap dua minggu sekali selalu dateng mengunjungi ayahnya di lapas.
Sayangnya, hasil dari keempat kunjungan itu juga sama. Keheningan dari lawan bicaranya, sementara dia berbicara tentang satu dan semua hal.
Di pertemuan pertamanya dia cerita soal ujian tesis yang bakal dia hadapi esok harinya. Di pertemuan keduanya, dia cerita kalau dia udah lulus, tinggal nungguin wisuda. Di pertemuan ketiga, dia nggak ada cerita spesifik; hanya soal kehidupannya sehari-hari. Di pertemuan keempat, Seungcheol bawa selembar foto, di mana dia pake toga, diapit sama ibu dan kakak-kakaknya yang mangku keponakannya (di pertemuan ini, ayahnya bereaksi dengan ngelihat foto itu, tapi masih nggak berbicara).
Tapi di kunjungannya yang kelima ini, akhirnya ada satu hal yang berbeda.
“Kamu…”
Seungcheol sampe berhenti ngoceh soal pekerjaan barunya saking kagetnya ayahnya tiba-tiba bicara. Selain itu, ada sepercik rasa takut yang muncul karena suara ayahnya, sisa dari luka dalamnya akibat perlakuan dan kata-kata pria di hadapannya itu di masa lalu.
“…betul-betul keras kepala. Persis ibumu.”
Awalnya Seungcheol pikir ayahnya lagi ngomel, tapi waktu dia ngelihat tanda-tanda nostalgia di muka ayahnya, dia berubah pikiran. Beliau bukan lagi kesal, tapi sedih.
“…Ibu belum pernah ke sini, Yah?”
Ayahnya menggeleng, “Dan saya paham kenapa dia nggak dateng. Saya udah mengkhianati amanah dia. Rumah sakit yang udah dia bangun dari nol, hancur karena tangan saya.”
Seungcheol terdiam. Apa yang dikatakan ayahnya itu ada benarnya; nggak lama setelah kasus itu terkuak oleh media, rumah sakit ibunya mulai mengalami penurunan jumlah pegawai dan pasien, dan banyak investor yang menarik saham mereka. Tapi untungnya, Seungcheol punya salah satu wanita tercerdas yang pernah dia kenal sebagai ibunya. Beliau udah punya beberapa rencana tersendiri untuk menyelamatkan rumah sakit tersebut, meskipun Seungcheol sendiri masih nggak tahu detailnya kayak gimana.
Seungcheol pengen tahu soal kenapa ayahnya bisa melakukan hal-hal yang membuatnya masuk lapas, tapi dia takut ayahnya bakal kembali membisu kalau dia tanya. Tapi di saat yang sama, ayahnya lagi aktif ngejawab pertanyaan dia. Ini kesempatan emas yang mungkin nggak akan muncul dua kali.
Jadi, Seungcheol ambil kesempatan itu.
“…Seungcheol boleh tahu kenapa? Seungcheol tahu soal kasusnya, tapi Seungcheol nggak tahu awalnya.”
Seungcheol menggigit bibir bawahnya sambil menunggu. Setelah beberapa lama, karena ayahnya sama sekali nggak bereaksi, Seungcheol pikir dia udah melakukan kesalahan.
Tapi terus ayahnya mulai buka suara.
“…saya investasi pada orang yang salah. Padahal saya kenal lama dengan orang itu, tapi dia nipu saya. Hampir semua harta saya dia bawa kabur, entah ke mana.”
Mata Seungcheol membelalak setelah ayahnya ngasih tahu fakta itu.
“Kamu bilang kamu nggak tahu persis kapan saya berubah… tapi saya ingat jelas. Kamu kelas 2 SMA, waktu itu kamu minta uang untuk bayar study tour. Tapi tepat sebelum kamu masuk ruang kerja saya, saya baru tahu kalau uang saya udah dibawa kabur sama orang itu.”
Seungcheol menggigit bibir bawahnya. Memori itu bukan memori yang menyenangkan buat dia inget lagi, karena ayahnya marah besar waktu dia minta uang. Pada akhirnya, dia nggak ikut study tour karena nggak bisa bayar. Dia juga inget rasa iri yang dia rasain waktu temen-temennya cerita soal pengalaman mereka waktu study tour, and how he couldn’t relate to their stories.
Tapi Seungcheol nggak tahu kalau itu adalah awal dari segalanya.
“Akhirnya saya berhutang sama banyak orang hanya untuk menghidupi keluarga kita. Tapi hutang saya bukannya makin kecil, tapi makin membengkak. Akhirnya saya berhutang juga sama rentenir.”
“…kenapa Ayah nggak minta tolong Ibu? Seungcheol yakin Ibu pasti mau ngebantuin Ayah kalau Ayah jelasin semuanya baik-baik…” tanya Seungcheol.
“Kamu pasti tahu kan cerita bagaimana saya dan ibumu menikah?” Seungcheol ngangguk, “Meskipun saya pada akhirnya betul-betul jatuh cinta sama ibumu, awal hubungan kami memang tidak lazim. Saya sudah pernah jadi penyelamat keluarganya. Harga diri saya nggak terima kalau saya harus minta tolong sama dia. Saya malu. Makanya saya pikir, saya bisa selesaikan masalah saya sendiri. Toh itu masalah saya.”
Lagi, Seungcheol kaget. Kata-kata itu familiar banget di telinganya. Kata-kata itu yang selalu jadi amunisi buat Seungcheol setiap kali ada orang yang nanya kenapa dia nggak pernah minta tolong sama orang lain kalau lagi kesusahan.
Buah bener-bener nggak jatuh jauh dari pohonnya.
“Apalagi setelah itu saya melakukan kesalahan fatal… pasien yang lagi saya tangani meninggal karena saya salah diagnosis, jadi saya salah ngasih treatment. Saya nggak bisa fokus kerja karena saya diteror rentenir siang-malam.”
Ayah Seungcheol menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
“Di situ mulailah semuanya jatuh. Ada salah satu kolega saya yang ngancem mau melaporkan kasus malpraktik saya ke IDI. Saya nggak bisa biarin dia. Saya butuh uang untuk bayar semua hutang saya. Kalau izin praktik saya dicabut, gimana saya bisa dapat uang untuk bayar hutang saya? Akhirnya saya ambil uang rumah sakit untuk membungkam mereka. Dan hal itu nggak hanya terjadi sekali. Lama kelamaan itu jadi kebiasaan. Saya aja nggak tahu berapa uang yang saya ambil untuk menutupi kasus malpraktik saya.”
“…5 milyar.”
“Ya?”
“Seungcheol sendiri yang ngitung totalnya. Lebih dari 5 milyar dari uang rumah sakit Ayah pake hanya untuk nutupin kasus malpraktik.”
Ayahnya mengusap mukanya dengan gusar, “…bahkan kamu yang lebih tahu daripada saya.”
Kedua lelaki itu lalu diam. Seungcheol melirik ke arah jam tangannya. Waktunya tinggal 5 menit lagi.
“Seungcheol…”
Lagi, Seungcheol hampir loncat saking kagetnya. Bukan karena ayahnya manggil namanya, tapi nada yang beliau pake untuk manggil namanya. Biasanya ayahnya selalu pake nada yang tinggi dan otoritatif waktu manggil dia, tapi sekarang, ayahnya hanya terdengar lemah.
“Iya, Yah?”
“…saya minta maaf.”
Hari ini terlalu banyak kejutan untuk Seungcheol. Dia nggak yakin jantungnya masih kuat. Dia sama sekali nggak menyangka di kunjungannya hari ini ayahnya bakal ngejawab pertanyaan dia, apalagi minta maaf.
“Saya yakin perilaku saya udah bikin kamu sakit hati. Kalau kamu nggak mau maafin saya, saya paham. Tapi saya betul-betul menyesal,” ayahnya melihat langsung ke mata Seungcheol, “Saya tahu saya bukan ayah yang baik. Ego saya terlalu tinggi. Tapi di dalam sini, saya bukan siapa-siapa,” ayahnya terus tertawa kecil, kayak yang ngetawain dirinya sendiri, “Ternyata saya perlu dipenjara dulu supaya ego saya bisa turun.”
“Ayah…”
“Ade,” panggil ayahnya lagi, “Ayah bangga sekali sama kamu.”
Mata Seungcheol membelalak, dan dengan cepat mulai berair.
“Ayah selalu dengerin semua cerita kamu. Kamu udah tumbuh jadi orang yang sangat baik, pinter, dan berguna untuk masyarakat. Ayah sayang sama kamu. Maaf Ayah terlalu tinggi hati untuk bilang sama kamu. Maaf perilaku Ayah ke kamu sama sekali nggak mencerminkan rasa sayang Ayah. Maaf Ayah udah nyakitin kamu. Nggak dalam waktu dekat juga nggak apa-apa, tapi Ayah harap suatu hari kamu sudi maafin Ayah.”
Di situ, tangisan Seungcheol akhirnya meledak. Semua kata-kata yang dia dambakan akhirnya muncul dari mulut ayahnya dalam satu waktu.
Dan di situ, petugas lapas datang dan mengumumkan waktunya sudah habis.
“A-Ayah…” isak Seungcheol. Rasanya sama persis ketika dia baru masuk TK; muncul rasa takut dan sedih karena enggan dipisahkan dari ayahnya.
“Makasih kamu sering sekali ngunjungin Ayah. Ayah seneng denger cerita-cerita kamu. Tapi kamu nggak usah terlalu sering dateng, apalagi kamu baru mulai kerja. Nanti kamu kecapean,” ujar ayahnya sambil berdiri untuk mengikuti petugas lapas yang menjemputnya. Sebelum beliau pergi, beliau menambahkan, “Nanti kapan-kapan bawa pacar kamu ke sini. Kalau ibu kamu suka sama dia, dia pasti anak baik. Lagipula saya harus minta maaf juga sama dia.”
Dengan kata-kata itu, Seungcheol memperbolehkan dirinya berharap. Berharap ayahnya akan betul-betul menerima dia apa adanya, berharap Jihoon bisa diterima oleh ayahnya, bukan hanya sebagai pacarnya, tapi sebagai bagian dari keluarga mereka. Tapi Seungcheol bersedia memberikan waktu untuk ayahnya untuk mencerna semuanya.
Alih-alih menyatakan semua itu, Seungcheol hanya mengangguk dan mengatakan, “Nanti… nanti Seungcheol sempetin dateng lagi. Kapan-kapan nanti Seungcheol ajakin Jihoon juga. Seungcheol lagi sibuk juga nggak apa-apa, Seungcheol pasti usahain… nanti Seungcheol cerita lagi macem-macem…”
Ayahnya tersenyum hangat, lalu Seungcheol seakan-akan kembali ke masa kecilnya, di mana dia selalu memaksakan diri untuk tetap terjaga demi mendengarkan cerita menjelang tidur yang selalu diceritakan dengan suara-suara yang menyenangkan oleh ayahnya. Senyuman yang diberikan ayahnya sama persis seperti yang selalu ia dapatkan ketika ia memohon-mohon pada ayahnya untuk membacakan cerita.
Senyuman yang sudah hampir satu dekade tidak pernah ia lihat menghiasi wajah ayahnya.
Ayahnya kembali ke selnya, dan Seungcheol kembali ke mobilnya.
Sambil menempelkan dahinya ke setir, Seungcheol menangis.