lima belas menit

part of the compass of my heart au

Kenapa harus hari ini?

Tiga hari setelah sidang perceraian pertama orang tuanya, Seungcheol menghela nafas berat dan kakinya nggak berenti bergerak di tempat saat dia duduk di ruang kunjungan lapas tempat ayahnya ditahan. Dia emang udah berencana untuk ngunjungin ayahnya. Meskipun pada awalnya ibu dan kakaknya agak ragu untuk ngasih Seungcheol dateng sendiri, akhirnya mereka ngebiarin dia. Jihoon juga udah ngasih dia penguatan untuk ngunjungin ayahnya secepatnya. Biar nggak ada yang ganjel, katanya.

Dia udah sempet mau mundur waktu dia nyadar waktu yang tersedia untuk kunjungan dalam waktu dekat hanya di hari Selasa, sehari sebelum ujian tesisnya. Tapi ya mau gimana lagi. Waktu yang tersedia selanjutnya baru bulan depan. Dia nggak mau terlalu banyak buang waktu.

Perasaannya campur aduk, karena sesungguhnya apa yang pernah Seungcheol bilang sama Jihoon masih berlaku. Oke, waktu sidang perceraian pertama orang tuanya dia masih bisa ngerasa tenang waktu ngebayangin harus ngobrol sama ayahnya lagi, tapi teori emang sejatinya lebih gampang diucapin daripada dipraktikin. Waktu itu ya waktu itu, sekarang ya sekarang.

Nggak heran Jihoon sering banget manggil dia plin-plan.

Waktu pintu ruang kunjungan dibuka, jantung Seungcheol loncat kayak yang mau copot saking tegangnya; untungnya dia masih bisa nahan diri untuk nggak nunjukin kekagetannya secara eksplisit. Seungcheol mengarahkan pandangannya ke arah pintu, dan dia menghela nafas pelan-pelan, badannya perlahan semakin rileks.

Jujur, reaksi fisik dan psikis Seungcheol agak membingungkan bahkan buat dirinya sendiri. Di satu sisi dia merasa kayak déjà vu, karena ngelihat sosok ayahnya yang kurang lebih kelihatan sama kayak waktu sidang perceraian itu mengembalikan rasa tenang dan iba yang muncul waktu itu. Tapi di sisi lain, masih ada perasaan takut dan cemas yang munculnya seakan-akan otomatis, hanya karena keberadaan ayahnya.

Tapi setidaknya, kali ini Seungcheol mampu menatap ayahnya secara langsung, meskipun lelaki yang lebih tua itu terus-menerus ngelihat ke lantai.

“Waktunya lima belas menit ya, Mas. Nanti kalau sudah habis saya kembali lagi.”

Seungcheol tersenyum kepada petugas yang membawa ayahnya, “Oke, makasih, Pak.”

Lima belas menit. Seungcheol bertanya-tanya, apakah waktu sesingkat itu cukup untuk membahas luka yang terus-menerus terbuka selama hampir tiga dekade? Apalagi mengingat Seungcheol udah lupa lagi gimana caranya ngobrol kayak biasa sama ayahnya. Dia udah menduga bahwa sekitar lima sampai sepuluh menit pertama, besar kemungkinan ia dan ayahnya bakal diem-dieman.

Nggak ada jalan lain. Harus Seungcheol yang mulai buka mulut.

“Apa kabar, Yah?”

Ayahnya diam.

Seungcheol nggak gentar. Bukan hanya sekali atau dua kali dia menghadapi klien yang nggak mau langsung cerita soal masalah mereka kepadanya di pertemuan pertama. Kadang mereka memang hanya perlu diberikan waktu untuk menyesuaikan diri dengan situasi konseling formal yang mungkin cukup asing buat mereka. Seungcheol bahkan pernah menghabiskan pertemuan pertamanya hanya untuk membangun trust dan rapport dengan klien-klien seperti itu

Seungcheol hanya nggak menyangka dia harus membangun trust dan rapport sama ayahnya sendiri.

“Udah makan, Yah? Makannya dijadwal kan? Jangan sampe nggak makan, ya.”

Lagi, Seungcheol dihadapkan sama keheningan. Seungcheol kembali nanya pertanyaan-pertanyaan small talk yang biasa dia pake kalau ketemu sama klien dewasa di puskesmas tempat praktik kerja pertamanya, tapi ayahnya seperti yang nggak menggubris.

Akhirnya, Seungcheol menghela nafas panjang.

“Jujur, Seungcheol juga jadi bingung kalau ayah nggak ngerespon sama sekali. Seungcheol asumsiin aja Ayah ngedenger semua yang Seungcheol bilang,” ungkap Seungcheol, “Besok Seungcheol mau ujian tesis. Seungcheol nggak akan minta doa atau restu atau apapun… karena Seungcheol berasumsi Ayah nggak peduli. Kalau asumsi Seungcheol salah, tolong buktiin.”

Waktu ayahnya kembali nggak bereaksi, Seungcheol menggigit bibir bawahnya untuk menahan air matanya.

“Seungcheol nggak ngerti kenapa Ayah jadi kayak gini. Dulu Ayah nggak gini. Seungcheol inget dulu waktu kecil Seungcheol selalu nggak sabar nungguin Ayah pulang, soalnya setiap Ibu bilang Ayah bakal pulang cepet, Ayah pasti pulang cepet dan ngedongengin Seungcheol sampe tidur. Seungcheol nggak inget kapan Ayah berubah, tapi Ayah lama-lama makin jarang pulang, tiap pulang kerjaannya marah-marah, tiba-tiba jadi sering dinas luar… Seungcheol cuma pengen tahu kenapa. Itu aja.”

Dan dengan pernyataan itu, lima belas menit mereka habis.