konsekuensi

a what-if scene from compass of my heart au. set after panel 129

Ini bukan pertama kalinya Seungcheol melamar kerja. Setelah lulus S-1, dia sempet kerja sebagai HR di sebuah perusahaan selama setahun sebelum daftar S-2. Tapi entah kenapa, setelah dia melamar ke tiga rumah sakit, dua puskesmas, dan tiga biro psikologi, dia lebih cemas daripada waktu pertama kali mencari kerja.

Mungkin ada hubungannya sama pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan sama interviewer waktu dia datang ke interview kerja yang paling pertama di salah satu rumah sakit yang dia lamar.

Anda anak kandungnya dr. Choi Sangkyung, benar?

Dari situ, feeling-nya udah nggak enak. Feeling-nya makin nggak enak ketika interviewer di setiap rumah sakit dan puskesmas yang dia lamar nanyain pertanyaan yang sama. Dan bener aja, semua tempat yang dia lamar nolak dia, dengan alasan Seungcheol “bukan kandidat yang mereka cari”.

Seungcheol tergolong orang yang realistis, dan dia masih mampu menahan diri untuk nggak jump to conclusion. Mungkin dia emang nggak diterima karena ada kandidat lain yang lebih baik, yang pengalamannya lebih banyak, sedangkan Seungcheol tergolong masih fresh graduate yang pengalaman di lapangannya baru dari kerja praktik aja.

Beres wawancara di rumah sakit terakhir yang dia lamar, Seungcheol jadi makin curiga, karena setelah wawancara, dia langsung ditolak di tempat, padahal di tempat-tempat lain dia ditolak lewat e-mail beberapa hari setelah wawancara.

Tapi akhirnya Seungcheol geleng-geleng. Mungkin dia cuma overthinking aja. Untuk mengalihkan perhatiannya, dia jalan ke arah food court rumah sakit.

Waktu Seungcheol lagi asyik makan, tiba-tiba ada orang yang mukul bahunya cukup keras.

“Seungcheol, kan? Choi Seungcheol?”

Seungcheol udah siap ngambek, tapi waktu dia lihat siapa orang yang nabok bahunya, dia senyum lebar, “Bang Jongin!”

Seniornya waktu SMA, Kim Jongin, nyengir sambil nawarin tangannya, “Nggak ngerti gue lu tampak belakang dari dulu masih sama.”

“Yang gue nggak ngerti tuh kok lu ngenalin gue dari belakang, Bang. Mana maen nabok lagi, kalo salah orang lo yang malu,” ujar Seungcheol sambil menggenggam tangan seniornya dan menyalaminya dengan mantap.

“Apa kabar? Sombong bener ya, nggak pernah ikutan reuni!”

“Enak aja, gue ikutan reuni, Bang. Cuman tiap gue ikut reuni, lu yang nggak ada,” Seungcheol beralasan.

“Elah, nggak jodoh kali ya kita,” Jongin ketawa, “Boleh join? Lu nggak nunggu siapa-siapa kan?”

“Duduk, Bang! Gue sendiri kok,” ujar Seungcheol, “Kok lu di sini, Bang? Sakit?”

“Nggak liat?” Jongin menarik ID badge yang tercapit di saku kemejanya.

Setelah dia selesai baca profesi yang tertera di badge itu, mata Seungcheol membelalak, lalu dia ketawa, “Anjir, mantan kapten basket gue jadi dokter spesialis mata?”

“Gaya, kan?” Jongin ikut ketawa sebelum dia mulai makan, “Lu sendiri ngapain di sini, Cheol?”

“Abis ngelamar di sini gue…”

“Lah, lu dokter juga?”

“Psikolog, Bang. Tapi ga dapet, gue tadi langsung ditolak.”

Jongin meringis, “That’s rough. Pasti ada kesempatan laen, semangat yah.”

Seungcheol mengangguk, “Makasih, Bang.”

Sejenak, mereka berdua diam karena sibuk makan makanan masing-masing, sampai akhirnya Jongin buka suara lagi, “Cheol, between you and me aja ya, gue kaget liat lo ngelamar ke rumah sakit.”

“Lah, emang kenapa, Bang?”

“Gue kenal lo secara personal, jadi gue tau lo orang baik. Tapi kalau yang punya rumah sakit tau kalau HR nge-hire anak dokter yang ditangkep polisi gara-gara korupsi dan malpraktik, nggak akan aneh kalau HR-nya yang dipecat.”

Seketika Seungcheol merasa sekujur tubuhnya dingin. Sejak pertanyaan tentang ayahnya dia terima di wawancara pertamanya muncul, dia udah menduga mungkin hal seperti ini yang menjadi alasan dia gagal. Tapi dia berusaha untuk berprasangka baik dan berpikir, Ah, mana mungkin cuman gara-gara itu doang nggak diterima? Tapi ternyata pemikirannya naif.

Again, gue sih tahu lo orang baik. Ayah lo, ya ayah lo, lo, ya lo. Tapi ya… from a businessman perspective, it won’t look good.”

“Kok lu tahu itu ayah gue?” padahal seingat Seungcheol, dia nggak pernah cerita soal keluarganya sama Jongin, meskipun mereka berdua tergolong sangat dekat.

“Kalian mirip banget, kali. Lagian waktu gue liat di berita, nyokap lo kan diwawancara juga; gue kan sempet ketemu nyokap lo waktu kelulusan, jadi gue ngenalin. Mana reporternya pake nanyain hubungan pribadi segala…”

Seungcheol meringis waktu dia inget sama wawancara itu. Yang dia nggak ngerti tuh kenapa hubungan pribadi orang tuanya ditanyain waktu ibunya diwawancara sebagai pemilik rumah sakit alih-alih sebagai istri dari ayahnya. Kadang dia meragukan integritas beberapa reporter berita yang mungkin lebih cocok jadi reporter gosip.

“…berarti semua orang tahu dong, ya?”

“Skandal gede soalnya sih. Bahkan gue yang jarang nonton berita aja tau. Selain itu, ya, words travel fast in a hospital. Suster-suster di klinik mata banyak yang suka cerita ke gue soal perkembangan kasusnya juga. Suster di departemen laki gue juga sama.”

Seungcheol kesal. Gimana caranya dia bisa membuktikan sama orang-orang kalau dia dan ayahnya adalah dua orang yang berbeda, kalau dia nggak dikasih kesempatan?

Seungcheol menghela nafas panjang. Jongin nepuk-nepuk bahunya, “Santai aja, Cheol. Psikolog kan lapangan kerjanya nggak sempit.”

“Iya, sih…” dahi Seungcheol mengernyit, “Bentar… ‘laki’ lo?”

“Lah, gue emang nggak ngundang lo pas gue nikah ya?”

“Kagak! Wah, parah banget lo, Bang. Gue bahkan ga tau lo demennya sama laki,” Seungcheol manyun, dan Jongin ketawa keras.

“Sori! Sumpah, gue pikir lo dateng!”

“Kenal di mana, Bang?” tanya Seungcheol. Tapi sebelum Jongin bisa menjawab, ada orang lain yang manggil dia.

“Beb? Masih makan?”

Waktu Seungcheol menoleh, matanya membelalak lagi.

“Dikit lagi kelar, Yang. Kamu udah makan belum?”

“Kebanyakan ngemil aku kayanya, sekarang masih kenyang,” laki-laki yang baru datang itu melihat ke arah Seungcheol, terus matanya ikut membelalak, “Lho… Choi Seungcheol kan, ya? Alumni 5?”

“Bang Kyungsoo…?”

Waktu mantan ketua OSIS-nya waktu SMA senyum, Seungcheol kembali teringat kenapa Do Kyungsoo punya banyak banget pengangum rahasia. Nggak bisa dipungkiri kalau kakak kelasnya itu memang ganteng dan menggemaskan, “Ya ampun, kirain siapa! Pantesan Jongin ngobrolnya asyik banget. Dia kan biasanya nggak banyak temen di RS.”

“Sembarangan aja kamu tuh ngomongnya, Yang…” Jongin geleng-geleng kepala dan Kyungsoo ketawa sambil ngedeketin Jongin.

“Ya, bukan salah aku dong kalau kamu mukanya jutek…”

“Bang, ‘laki’ lo tuh…” Jongin dan Kyungsoo senyum lebar, terus mereka pamer cincin di jari manis kiri mereka. Seungcheol ketawa, “Telat sih, tapi selamat ya, Bang. Nikahnya kapan sih emang?”

“Januari tahun lalu, jadi baru lewat setahun,” jawab Kyungsoo.

“Oh, pantesan… gue lagi sibuk banget kerja praktik, jadi grup basket SMA gue mute kayaknya.”

“Emang gandeng (ribut) banget sih grup itu,” Jongin ketawa.

“Seungcheol ngapain di sini?” Kyungsoo nanya.

“Abis ngelamar jadi psikolog di sini, Bang. Nggak dapet tapi.”

Kyungsoo mengangguk sambil memberikan senyum simpatik. Seungcheol tahu kalau seniornya juga tahu kenapa dia ditolak, “Jangan patah semangat ya, Cheol. Nyari kerjaan sekarang emang nggak gampang.”

“Iya, sih, tapi ya… begitu tahu alesannya, kesel juga.”

“Wajar sih. Gue juga mikirnya absurd lah kalau cuman gara-gara gitu doang ditolak. Tapi ya… budak korporat di rumah sakit ini pemikirannya masih pada kolot. Isinya aki-aki (kakek-kakek) gila harta semua.”

“Hus, jangan keras-keras, Yang…”

“Masa suster di departemen aku ada yang bilang higher-up di rumah sakit mau nolak semua orang yang berhubungan sama dr. Choi dan keluarganya? Kebayang nggak sih berapa orang yang jembatannya udah dibakar duluan sama rumah sakit ini sebelum mereka bisa nyebrang?” omel Kyungsoo.

“Sayang,” setelah Jongin mengucapkan satu kata itu dengan tegas, Kyungsoo melihat ke arah Seungcheol dan menutup mulutnya dengan tangannya.

“Sori, Cheol… I think I said too much,” ujar Kyungsoo.

Mata Seungcheol membelalak pada kata-kata yang diutarkan Kyungsoo. Semua orang yang berhubungan sama ayahnya dan keluarganya?

“…jadi… kalau misalnya pacar gue mau ngelamar di sini juga pasti ditolak, gitu, Bang?”

“Jangan terlalu dipikirin, Cheol. Namanya juga gosip. Belom tentu bener,” ujar Jongin.

“…tapi itu di sini doang kan, Bang? Kalau di RS lain?”

Kyungsoo menghela nafas, “Jujur, gue juga nggak tahu kalau di tempat lain. Tapi network rumah sakit cukup luas. Nggak aneh kalau gosip di satu rumah sakit bisa nyampe ke rumah sakit lain,” Kyungsoo terus senyum dan menepuk lengan Seungcheol, “Rumah sakit nggak cuma satu di Bandung. Lagian kalau jadi psikolog, pilihannya banyak kok, nggak harus di rumah sakit aja.”

Apa yang dibilang Kyungsoo itu bener. Seungcheol tahu itu. Seungcheol sendiri bukan orang yang terlalu tertarik untuk selamanya jadi psikolog di rumah sakit, karena dia lebih tertarik di bidang psikologi forensik. Dia hanya berencana ngumpulin jam terbang di klinik sebelum pindah bidang.

Tapi Jihoon.

Baru beberapa minggu yang lalu Jihoon ngasih tahu Seungcheol soal mimpinya untuk jadi psikolog klinis di rumah sakit atau puskesmas yang cukup besar, supaya dia bisa menjangkau klien sebanyak mungkin. Jihoon, yang tujuan utamanya adalah untuk membalas kebaikan psikolognya dan Bu Siti yang udah membantunya menghadapi traumanya.

Tangan Seungcheol mengepal. Seungcheol memang merasa aneh, karena hampir semua hal yang direncanakannya berjalan lancar. Dia berhasil lulus, SKL dan transkrip nilainya keluar tanpa masalah, dia bisa ikut sumpah profesi psikolog dan dapet STR di waktu yang sesuai dengan rencananya, dan perceraian orang tuanya juga udah sah. Harusnya dia tahu kalau hal jelek pasti udah siap menerpa kehidupannya.

Seberapa jauh kesalahan ayahnya bakal menghantuinya? Kenapa dia yang harus menanggung konsekuensi atas kesalahan yang dilakukan orang lain, hanya karena mereka terikat hubungan sedarah? Kenapa orang yang nggak ada hubungan sama ayahnya sekalipun harus ikut kena imbasnya?

Kalau berhubungan sama Seungcheol bakal menghancurkan kesempatan Jihoon untuk mencapai mimpinya… apa Seungcheol sanggup untuk meninggalkan Jihoon?