kesan pertama
part of the compass of my heart au || tw // homophobia, deskripsi singkat hyperventilation akibat kecemasan. kalau ada yang ga nyaman, bisa skip bagian setelah emot 😱😱😱 dan lanjut ke bagian setelah emot 😢😢😢
*
Jihoon nggak biasa ke rumah Seungcheol. Pertama kali dia ke rumah Seungcheol itu waktu dia terpaksa nganterin Seungcheol yang lagi pingsan dan alamatnya pun harus dia dapetin dari Jeonghan dulu. Seungcheol selalu bilang, “Enakan di rumah kamu, Ji,” dan Jihoon ngerti kenapa.
Rumah Seungcheol, meskipun besar dan kelihatan megah dari luar, menurut Jihoon terlalu dingin buat dia. Dan maksud dia bukan dingin karena setiap ruangan di rumah Seungcheol ada AC-nya, tapi atmosfernya dingin. Kayak nggak ada yang tinggal di situ. Menurut Seungcheol, Seungmin jarang pulang karena dia udah punya rumah dan keluarganya sendiri, dan orang tuanya lebih sering dinas luar daripada di rumah. Waktu Seungcheol sakit pun, Seungmin kebetulan lagi pulang karena ada dokumen yang perlu dia ambil.
Berhubung rumah Seungcheol tergolong besar, Jihoon sempet nanya soal keberadaan asisten rumah tangga. Seungcheol bilang kalau asisten rumah tangga hanya dateng dua minggu sekali, karena rumahnya secara teknis emang hanya ditinggalin sama Seungcheol, dan seberantakan apapun Seungcheol, dia nggak bisa ngeberantakin rumahnya sampe butuh asisten rumah tangga yang sampe harus tinggal di rumahnya.
Hari ini, nggak seperti biasanya, rumah Seungcheol cukup rame. Ada A Seungmin, istrinya, dan bayi mereka, juga ibunya Seungcheol. Untuk pertama kalinya, Jihoon ngerasa rumah Seungcheol juga bisa mencapai kehangatan yang serupa sama rumahnya sendiri.
Sekitar jam 5, Jihoon dapet chat dari mamanya yang minta dia cepet pulang. Alasannya adalah karena mamanya udah mulai bosen karena papanya sibuk ngurusin lovebird dan mamanya butuh temen ngobrol. Seungcheol dan ibunya Seungcheol, yang nggak sengaja ngedenger alasan Jihoon, ketawa. Jihoon pamit sama keluarganya Seungcheol, terus Seungcheol jalan bareng sama dia ke arah mobilnya yang diparkir di belakang mobil Seungcheol.
“Salam sama Om sama Tante ya, Ji.”
“Oke,” Jihoon ngangguk, terus dia senyum waktu Seungcheol megang tangannya, “Ibu kamu masakannya enak banget. Jangan bilang-bilang Mama tapi.”
Seungcheol ketawa, “Mama kamu juga masakannya enak, Ji. Apalagi semur dagingnya. Pantesan kamu doyan.”
“Ayam kecap buatan ibu kamu juga enak, Kang. Kapan-kapan minta resepnya dong.”
“Kalau dibayar pake resep bibimyeon kamu boleh lah.”
“Kalau itu sih kamu aja yang nego sama Mama.”
“Seungcheol?”
Jihoon nggak terbiasa ngelihat sisi Seungcheol yang seperti ini. Seungcheol tergolong orang yang cukup gampang Jihoon “baca” body language-nya, tapi ada satu emosi yang jarang banget kelihatan dari Seungcheol. Dari yang Jihoon lihat, seluruh badan Seungcheol menegang secara kentara, senyum yang tadinya dia arahin ke Jihoon seketika hilang, dan pegangan tangan Seungcheol di tangan Jihoon melemah sebentar sebelum menguat lagi, kayak yang lagi dilema mau ngelepas tangan Jihoon atau nggak dan akhirnya mutusin untuk nggak dilepas.
Jihoon terus ngelihat ke arah suara yang manggil nama pacarnya. Dia lihat seorang bapak-bapak lagi berdiri di sebelah mobil sedan Mercedes Benz warna hitam, garis umur mewarnai mukanya, dan alisnya tebal, kayak Seungcheol. Jihoon bisa ngebayangin Seungcheol kalau udah tua mukanya mungkin bakal mirip sama bapak ini. Tapi ekspresi yang beliau tunjukin beda banget sama apa yang biasa dia lihat di muka Seungcheol. Ekspresi beliau hanya pernah Jihoon lihat di muka Seungcheol satu kali: waktu Seungcheol marah sama pengendara mobil yang nabrak mobilnya waktu dia lagi nganterin Jihoon dan Seokmin pulang. Itu adalah satu-satunya pengalaman Jihoon dan Seokmin jadi saksi kemarahan Seungcheol yang bikin mereka terus-terusan mencoba sembunyi di balik badan satu sama lain saking takutnya. Seungcheol yang lagi betul-betul marah adalah satu peristiwa yang sama sekali nggak mau Jihoon ulang.
Tanpa Jihoon sadari, badannya bergetar.
“Siapa itu?” meskipun nada suaranya terdengar tenang, Jihoon bisa dengar tanda-tanda otoritas dari suara bapak-bapak tersebut. Ngelihat dari ekspresi dan warna muka bapak tersebut yang juga mulai memerah, Jihoon tahu kalau bapak ini nggak setenang nada suaranya.
“Ayah. Udah pulang?” Seungcheol tanya, alih-alih menjawab pertanyaan bapak-bapak yang ternyata adalah ayahnya. Tapi Jihoon nggak suka. Dia nggak kenal sama nada suara Seungcheol yang dia pake sama ayahnya. Nada suaranya terdengar terlalu formal. Seungcheol bahkan terdengar lebih friendly waktu ketemu sama klien dan dosen. Dan tentunya dia terdengar jauh berbeda dibandingkan waktu dia bicara sama ibunya.
“Kamu ngalihin pembicaraan? Jawab pertanyaan ayah!”
Tapi Seungcheol tetep nggak jawab. Seungcheol hanya ngelihat tepat ke mata ayahnya. Perasaan Jihoon udah nggak enak, dan dia nyoba untuk narik tangannya dari tangan Seungcheol, tapi Seungcheol malah ngencengin pegangannya. Jihoon meringis kesakitan.
“Kamu tuh dari dulu nggak berubah! Betul-betul anak nggak tahu terima kasih! Ngelawan terus kerjaannya! Pembangkang! Terus ini apa? Pegangan tangan sama laki-laki? Kamu homo?! Mau jadi apa kamu?!” Ayah Seungcheol terus ngeluarin nafas singkat yang terdengar mencemooh, “Ayah pikir kamu udah nggak bisa lebih ngecewain Ayah lagi, tapi ternyata Ayah salah. Ayah nggak habis pikir bisa punya anak nggak normal kayak kamu!”
Nafas Jihoon yang sebelumnya udah cepet karena cemas, tiba-tiba tercekat gara-gara kata-kata Ayah Seungcheol. Kata-kata itu udah nggak asing di kuping Jihoon, tapi ingatan-ingatan yang muncul dari kata-kata itu bukan hal yang bisa dia terima dengan lapang dada. Seakan udah otomatis, Jihoon nutup matanya dan ngelakuin teknik relaksasi yang biasa dia lakuin kalau dia cemas.
Tapi dia nggak bisa fokus sama pernafasannya gara-gara tangan Seungcheol yang makin kenceng menggenggam tangan Jihoon. Jihoon meringis lagi dan kali ini, satu kata otomatis keluar dari mulutnya karena sakit, “Kang.”
Kayak orang yang baru sadar setelah ngelamun, Jihoon denger suara nafas Seungcheol tercekat sedikit gara-gara kaget. Dia terus ngelihat ke arah Jihoon. Dari matanya, Jihoon bisa lihat Seungcheol ngerasa bersalah karena udah nyakitin Jihoon. Dia lepas tangan Jihoon.
“Kang, aku pulang, ya?” ujar Jihoon. Seungcheol kelihatan ragu. Dia sesekali ngelihat ke arah ayahnya terus balik lagi ke Jihoon. Ayah Seungcheol nggak ngomong apa-apa lagi, dan menurut Jihoon itu aneh. Padahal tadi beliau udah marah-marah, tapi kenapa tiba-tiba jadi diem?
Seungcheol akhirnya ngangguk, “Ati-ati di jalan, Ji. Kalau udah nyampe rumah kabarin.”
Jihoon ngangguk, terus dia ngelihat ke arah ayah Seungcheol. Dari ekspresi beliau, Jihoon bisa lihat kalau ayahnya Seungcheol tergolong orang yang jago ngontrol ekspresinya, tapi Jihoon terlalu parno dan jago observasi untuk ketipu. Dari tangan beliau yang dikepal, nafas beliau yang tersengal-sengal, dan muka beliau yang masih merah, Jihoon tahu beliau marah, meskipun ekspresinya terlihat datar.
“Permisi, Om.”
Ayah Seungcheol hanya ngelihat Jihoon sepersekian detik sebelum beliau akhirnya bilang, “Kamu pikir kamu cukup baik untuk anak saya? Laki-laki nggak dikenal yang nggak setara sama anak saya dan nggak bisa ngasih anak saya keturunan seperti kamu nggak akan pernah saya terima.”
“Ayah!”
“Seungcheol. Masuk.”
Jihoon hanya bisa nunduk, terus dia masuk ke mobilnya. Dia nyalain mesin mobilnya terus dia pergi dari rumah Seungcheol. Dia teken perasaan nggak enak yang muncul gara-gara dia ngerasa udah kabur dari situasi itu. Waktu mobilnya keluar dari gerbang rumah Seungcheol, dia bisa denger suara mobil masuk ngelewatin gerbang yang sama dan dia denger suara gerbang itu nutup.
***
Selama nyetir, pikiran Jihoon ke mana-mana. Mungkin bukan hal yang seharusnya dia lakukan, berhubung dia lagi nyetir dan satu hal yang selalu ditekankan sama papanya adalah untuk selalu fokus selama dia nyetir.
Jujur, kata-kata ayahnya Seungcheol agak mengganggu Jihoon. Apa yang dibilang sama ayahnya Seungcheol nggak ada yang bisa dia sanggah karena semuanya secara teknis bener. Dia inget seberapa mindernya dia hanya untuk mencet bel rumah Seungcheol waktu dia nganterin Seungcheol pulang karena dia takut diusir atau dikira abis nyulik Seungcheol. Rumahnya gede banget dan kalau Jihoon bilang dia nggak terintimidasi, dia bohong.
Dan tentunya, Jihoon nggak bisa ngasih Seungcheol keturunan. Setidaknya nggak secara alamiah. Dia bukan perempuan. Jihoon dan Seungcheol belum pernah ngomongin soal masa depan hubungan mereka, meskipun mereka udah sering banget ngobrolin soal masa depan mereka setelah lulus, tapi itu hanya sebatas tempat kerja yang pengen mereka tuju.
Jihoon tahu Seungcheol suka anak-anak. Waktu mereka ngejalanin praktik kerja di RSJ yang mengharuskan mereka tinggal di Bogor selama 2 minggu, mereka tinggal di rumah kos dan pemilik rumah kos itu punya dua orang anak yang masih TK. Jihoon inget segimana bahagianya Seungcheol setiap kali mereka pulang ke rumah kos dan kedua anak itu langsung lari dan hampir selalu berantem untuk dipangku sama Seungcheol duluan. Jihoon juga inget sebahagia apa Seungcheol waktu keponakan pertamanya lahir. Chat mereka sampe dibanjiri foto-foto keponakan Seungcheol selama sekitar dua minggu.
Tapi Jihoon nggak tahu apakah Seungcheol emang mau punya anak sendiri, atau itu hanya keinginan ayahnya.
Selain itu, Jihoon juga khawatir sama keadaan Seungcheol. Dia nggak kenal ayah Seungcheol, karena meskipun Seungcheol adalah tipe orang yang jago bikin orang lain terbuka sama dia, dia sendiri bukan tipe orang yang suka curhat atau secara sukarela ngasih informasi tentang dirinya sendiri, terutama mengenai keluarganya. Dari keengganan Seungcheol nyeritain soal keluarganya, awalnya Jihoon pikir dia nggak suka sama keluarganya, tapi ternyata nggak begitu.
Jihoon bisa lihat kedekatan Seungcheol dan kakaknya. Waktu Jihoon bawa Seungcheol pulang setelah dia pingsan di TBK, kekhawatiran Seungmin soal Seungcheol nggak terlihat pura-pura. Interaksi mereka berdua juga kelihatan natural dan luwes. Mereka bisa ngejek satu sama lain, ngejagain satu sama lain, dan manggil satu sama lain ‘lo-gue’ seperti halnya teman.
Jihoon juga bisa lihat segimana saling sayangnya Seungcheol dan ibunya. Waktu Seungcheol lihat ibunya, dia nggak mikir panjang untuk ninggalin Jihoon sendirian dan lari di tengah mall yang cukup rame ke arah ibunya terus dia peluk ibunya erat-erat. Ibunya bahkan minta Jihoon, orang yang baru beliau temuin untuk pertama kalinya, untuk ngejaga anaknya karena beliau baru sekedar menduga kalau mereka lebih dari teman. Ngejaga dari apa, Jihoon pun nggak tahu, tapi Jihoon sekarang punya dugaan.
Orang yang nggak disukai Seungcheol di keluarganya itu besar kemungkinan adalah ayahnya. Meskipun interaksi yang Jihoon lihat antara Seungcheol dan ayahnya tergolong sebentar, Jihoon tahu kalau hubungan Seungcheol sama ayahnya jauh beda dari hubungan antara dia dengan ibunya. Hubungan mereka jauh lebih formal, nggak seperti hubungan Jihoon dengan papanya atau Soonyoung dengan ayahnya.
Ayah Seungcheol penuh dengan otoritas dan Jihoon sama sekali nggak bisa ngerasain sepercik pun kasih sayang dari kata-kata, ekspresi, ataupun nada yang beliau pake. Seungcheol pun sikapnya cenderung dingin dan acuh sama ayahnya. Bukannya Jihoon ngejelekin Seungcheol, tapi Jihoon bisa lihat dari mana ayahnya Seungcheol bisa bilang bahwa Seungcheol adalah ‘pembangkang’. Sikap yang Seungcheol tunjukin ke ayahnya sama sekali jauh berbeda dari ‘Ade’ yang manja dan manis sama ibunya.
Bisa jadi juga bahwa ibunya Seungcheol minta Jihoon untuk ngejaga Seungcheol dari ayahnya.
Pemikiran itu bikin Jihoon narik nafas dalem-dalem. Bisa-bisanya kamu janji ngejagain Kang Seungcheol terus kamu tinggalin dia sendiri, Lee Jihoon. Mau kamu simpen mana muka kamu kalau ketemu lagi sama ibunya Kang Seungcheol?
😱😱😱
Lagi, Jihoon tarik nafas dalem. Tapi udara yang dia hirup seakan menolak ngelewatin bronkusnya dan balik lagi ke luar sebelum bisa nyampe paru-paru. Jihoon coba lagi untuk narik nafas, dan kembali gagal masukin udara ke paru-parunya. Waktu nafasnya jadi makin cepet, Jihoon segera minggirin mobilnya dan matiin mesin.
Jihoon nempelin kepalanya ke setir mobilnya. Jantungnya berdebar kencang. Kepalanya mulai pusing. Tangannya mulai gemeteran. Perutnya mulai mual, seakan ayam kecap buatan ibunya Seungcheol mengancam untuk keluar lewat mulutnya. Untung dia udah minggirin mobil, kalau nggak, dia yakin dia bakal nabrak sesuatu. Dia terus tutup mulut dan hidungnya pake tangannya, dan dia mulai coba untuk ngelambatin pernafasannya. Biasanya dia bakal memposisikan kepalanya biar ada di antara kedua lututnya, tapi berhubung dia lagi di mobil, dia nggak bisa.
😢😢😢
Waktu nafasnya udah mulai lebih teratur, Jihoon lepasin tangannya dari mulut dan hidungnya, terus dia nyender ke jok mobilnya. Dia tutup mata, terus dia keluarin pelan-pelan semua nafasnya, narik nafas dari hidung 4 hitungan, dia tahan 7 hitungan, dan dia keluarin lewat mulutnya 8 hitungan. Dia ulangin dua kali, terus dia buka matanya. Waktu dia coba tarik nafas lagi, dia ngeluarin nafasnya dengan lega, karena udaranya udah berhasil masuk ke paru-parunya. Setitik air mata jatuh waktu dia ngedip. Dia nggak tahu apakah karena sebelumnya dia nggak bisa nafas, atau karena hal lain.
Jihoon terus ngelihat ke HP-nya. Dia butuh tahu keadaan Seungcheol. Mungkin alasannya egois, karena dia pengen ngerasa lebih baik setelah ninggalin Seungcheol dan ngelanggar janjinya sama ibunya Seungcheol, tapi dia juga peduli sama keadaan fisik dan mental Seungcheol. Jihoon nggak kenal ayahnya Seungcheol. Kesan pertama yang dia dapet dari ayah Seungcheol nggak baik dan dia khawatir banget udah ninggalin pacarnya sama orang seperti itu, peduli setan orang itu adalah ayahnya.
Tapi kalaupun dia chat Seungcheol sekarang, Jihoon nggak akan segera dapet balesan, meskipun Seungcheol tipe orang yang fast respond. But it would be better than nothing.
Dengan tangannya yang masih gemeteran, Jihoon raih HP-nya terus dia kirim chat ke Seungcheol. Setelah kekirim, dia lempar HP-nya ke jok penumpang sebelum dia nyenderin kepalanya ke jok mobilnya lagi.
Waktu tangannya udah berhenti bergetar, Jihoon lanjutin perjalanan pulangnya.