bukannya nggak mau

part of the compass of my heart au

*

Meskipun dia sempet (pura-pura) bete gara-gara tiba-tiba diserang selfie Seungcheol sebelum dia pergi dari kampus, mood Jihoon cukup bagus di hari itu. Setelah hampir sebulan nggak bimbingan sama dosen yang tercatat sebagai supervisor kasusnya, akhirnya Jihoon mutusin untuk ngehubungin dia dan minta bimbingan. Waktu yang dia habisin sama Kang Pras dan Kang Mamat ternyata manfaat banget, karena for once, dia nggak ngerasa kayak disidang waktu dia bimbingan sama Mbak Yun. Dia bahkan nggak nolak ataupun kabur waktu ditodong Mbak Yun untuk seminar di minggu depan untuk ngabisin jatah seminar kasus posnya.

Ada beberapa faktor yang bikin Jihoon mutusin untuk lanjut bimbingan. Selain dorongan dari Soonyoung, Kang Mamat, dan Kang Pras, yang ngasih dia motivasi untuk lanjut adalah keinginan dia untuk Sumpah Profesi bareng Seungcheol, yang tinggal seminar satu kali lagi dari jatah 7 kali seminar. Jihoon baru selesai 4 seminar, 1 kasus besar dari 3, dan 3 kasus pos dari 4. Minggu depan dia bakal seminar kasus pos terakhirnya. Dia udah dapet 2 kasus terakhirnya, sekarang cuma masalah ngerjain laporannya aja.

Di Pepper Lunch 23 Paskal, Jihoon dapet hadiah lagi berupa senyuman bangga dari Seungcheol.

“Aku bangga sama kamu, Ji. Aku tahu opini kamu tentang Mbak Yun, tapi aku seneng kamu bisa ngesampingin opini itu buat ngadepin dia. Semangat ya, biar bisa SumPro bareng.”

Itu aja udah cukup untuk ngebakar semangat Jihoon. Semoga waktu dia nyampe rumah apinya belum padam.

Setelah kenyang makan di Pepper Lunch, sebelum keluar 23 Paskal untuk jalan ke Sukha Delights di jajaran ruko Paskal Hypersquare, Jihoon dan Seungcheol mutusin untuk jajan Koi. Pas mereka udah deket, Seungcheol tiba-tiba lari ke satu arah. Jihoon yang waktu reaksinya telat hanya bisa melotot kaget ngeliat tingkah pacarnya sambil jalan cepet ngikutin dia. Kebayang nggak sih, cowok jangkung (tinggi) gede di dalem mall lari-larian? Gimana nggak kaget?

Jihoon jadi lebih kaget lagi waktu dia lihat Seungcheol meluk orang lain. Orangnya lebih pendek dari dia, jadi dia sampe harus ngebungkuk sedikit. Kalau dilihat dari setelan bajunya — kemeja, pencil skirt selutut, dan heels yang nggak terlalu tinggi —, orang yang dia peluk itu ibu-ibu.

“Ibu kapan pulang? Sama Ayah?” tanya Seungcheol sambil ngelepasin orang yang dia peluk dari pelukannya.

Mata Jihoon membesar lagi. Orang yang dipeluk sama Seungcheol sampe harus ngebungkuk sedikit itu ternyata ibunya. Badannya otomatis membeku. Dia inget Seungcheol pernah bilang kalau dia bisa jamin kalau kakaknya pasti bakal nerima dia, tapi dia nggak tahu soal orang tuanya. Apa hari ini Jihoon bakal kehilangan Seungcheol?

“Tadi siang nyampe di Husein. Ayah masih di Surabaya. Ibu bosen, jadi pulang sendiri aja,” balas ibunya Seungcheol dengan senyum hangat yang bikin Jihoon mikir, ah, ternyata Seungcheol dapet senyumnya dari ibunya.

“Ih, tahu gitu Seungcheol jemput,” omel Seungcheol. Meskipun Jihoon hanya bisa lihat punggungnya, Jihoon tahu Seungcheol lagi manyun.

“Kan biar surprise,” ujar ibunya sambil senyum, “Kamu sama temen?” tanya ibunya. Jihoon denger Seungcheol narik nafas kaget terus dia akhirnya ngeliat ke arah Jihoon. Senyum excited-nya berubah jadi lebih lembut. Mungkin kelihatan kalau Jihoon lagi tegang.

Seungcheol terus ngedeketin Jihoon, terus dia nanya pake volume suara yang lebih kecil, “Aku boleh kenalin kamu sama Ibu?”

Jihoon gigit bibir bawahnya. Tanpa Seungcheol jelasin, Jihoon tahu kalau Seungcheol pengen ngenalin dia sebagai pacarnya. Dia bukannya nggak mau, tapi rasa takut itu, meskipun udah nggak sebesar dulu, masih ada. Dia tahu, secara rasional, kalau ibu-ibu jelas nggak akan ngehajar dia. Tapi kalau hubungan Seungcheol sama ibunya jadi jelek gimana? Hanya lewat satu interaksi kecil, Jihoon bisa lihat sedeket apa Seungcheol sama ibunya. Dia nggak mau ngerusak itu.

“Nggak apa-apa, Ji. Aku bisa lindungin kamu. Aku mau kenalin kamu ke Ibu,” ujar Seungcheol. Sebelum otaknya panas gara-gara overthinking, Jihoon ngeluarin semua nafasnya lewat mulut, narik nafas lewat hidung 4 hitungan, ditahan 7 hitungan, terus dia keluarin lewat mulut 8 hitungan. Tapi dia masih takut. Dia nggak mau kehilangan Seungcheol. Overthinking yang dia lakuin menang di saat ini.

Berat hati, Jihoon menggeleng, “...jangan dulu, ya, Kang. Aku belom siap.”

Seungcheol ngasih dia senyuman lembut. Dari matanya, Jihoon bisa lihat Seungcheol bilang “nggak apa-apa, I’ve got you” yang berhasil bikin dia sedikit lebih tenang. Jihoon ngebolehin Seungcheol buat jalan duluan ke arah ibunya sebelum dia ngikutin.

“Bu, ini Jihoon, temen kuliah Seungcheol.”

Jihoon bangga sama kemampuan dia baca ekspresi yang muncul di muka orang yang dia hadapin. Dia tahu kapan orang senyumnya tulus, dan dia tahu kapan orang lagi nahan marah. Ketika orang lain nggak bisa ngelihat kepalsuan senyum seseorang, Jihoon bisa tahu. Bukan pake sulap atau sihir dia bisa dapet nilai A di mata kuliah Ilmu Pernyataan waktu S-1.

Ekspresi yang bisa Jihoon baca dari muka ibunya Seungcheol itu ada kebahagiaan, yang Jihoon anggap wajar karena kelihatannya Seungcheol dan ibunya udah lama banget nggak ketemu. Tapi ada sesuatu yang nahan beliau untuk ngasih senyuman yang 100% tulus. Jihoon nggak bisa baca apa yang nahan, dan hal itu bikin dia deg-degan.

“Kenalin, Tante. Saya temen seangkatannya Kang Seungcheol,” ujar Jihoon sambil menunduk sedikit.

“Temen baru, De? Kok Ibu belum pernah dikenalin?” tanya ibunya Seungcheol dengan senyum ramah yang Jihoon yakin memang tulus. Jihoon masih punya kontrol diri yang cukup bagus, tapi di kepalanya dia udah bilang “aww” setelah tahu kalau Seungcheol dipanggil “Ade” sama ibunya.

“Iya, Bu, kenalnya di S-2. Tiap ke rumah Ibu lagi nggak ada, jadi belum sempet Seungcheol kenalin,” Seungcheol ngejelasin, “Kok sendirian aja sih, Bu? Aa mana?”

“Aa dipanggil ke kantor. Ibu bosen di rumah sendiri, jadi tadi GoCar ke sini.”

“Untung ketemu sama Seungcheol. Kalau nggak nanti pulang naek apa?”

“Ya naek GoCar lagi aja lah, De. Kok susah?”

Jihoon ketawa pelan ngelihat interaksi antara Seungcheol dan ibunya. Ternyata nggak terlalu jauh beda sama dia dan mamanya.

“Jihoon sama Ade udah makan?” tanya ibunya Seungcheol.

“Tadi baru makan, Bu. Sekarang mau beli minum di Koi,” jawab Seungcheol.

“Oh! Kebetulan dong, Ibu juga mau ke sana. Bareng yuk! Ibu bayarin,” ajak ibunya Seungcheol sambil senyum.

“Tante...”

“Udah, Ji, Ibu nggak bisa ditolak,” ujar Seungcheol sambil ketawa.

Setelah mesen, jujur, Jihoon agak salah tingkah. Dia belom pernah ketemu sama orang tua pacarnya, meskipun orang tua yang bersangkutan belum tahu kalau mereka pacaran. Ya wajar, hubungan dia sama mantan pacarnya kurang lama buat dia kenal sama orang tuanya dan Seungcheol hanya pacarnya yang kedua. Dia udah pernah ketemu sama orang tuanya Soonyoung, tapi ini beda. Bukan hal yang super penting bagi dia untuk disukain sama keluarganya Soonyoung. Tapi ini ibunya Seungcheol. Dia nggak mau kehilangan Seungcheol.

Untungnya, ibunya Seungcheol sejauh ini masih ngobrol sama Seungcheol. Dari yang Jihoon denger, Seungcheol udah nggak ketemu sama ibunya selama 3 bulan. Ibunya Seungcheol nggak jauh beda sama mamanya. Yang ditanyain masih berkisar hal-hal serupa: gimana makannya, gimana tidurnya, gimana kuliahnya, dsb. Jihoon juga baru tahu kalau Seungcheol dan Jeonghan temenannya dari SMA.

Akhirnya perhatian ibunya Seungcheol pindah ke Jihoon. Badan Jihoon menegang, tapi dia coba biar nggak terlalu obvious. Ibunya Seungcheol nanyain beberapa hal kecil tentang kehidupan Jihoon: asli mana, orang tua kerja di mana, kenal Seungcheol dari mana. Karena Jihoon udah tahu jawabannya, dia gampang ngejawabnya dan pelan-pelan dia mulai ngerasa nyaman sama ibunya Seungcheol.

“Gimana Seungcheol di kampus?”

Tanpa sadar, senyum Jihoon melebar, “Kang Seungcheol bisa diandalin banget, Tante. Semua temen-temen kalau minta tolong pasti langsung ke Kang Seungcheol. Terus kalau lagi nerima klien juga jago banget bikin kliennya tenang dan nyaman biar enak cerita. Dosen-dosen juga pada seneng sama Kang Seungcheol.”

Ibunya Seungcheol ketawa lembut. Di situ Jihoon nyadar, dia baru aja muja-muja Seungcheol di depan orangnya dan ibunya. Untuk kedua kalinya di jam yang sama, waktu reaksi Jihoon telat sedikit, dan akhirnya pipinya memerah.

Seungcheol ketawa dan Jihoon bisa lihat dia nahan diri untuk nggak ngelus rambut Jihoon di depan ibunya.

Ibunya Seungcheol ketawa lagi ngelihat dia, terus nepuk bahu Seungcheol, “De, ke Tous les Jours dong. Beliin Ibu cornet yang susu sama yang coklat satu ya. Ade pilihin buat Jihoon juga ya. Ibu mau ngobrol sebentar sama Jihoon.”

Di sini Jihoon agak panik. Agak, karena dia udah mulai nyaman sama ibunya Seungcheol, tapi masih panik, karena dia masih tetep takut disidang. Sebelum ninggalin Jihoon sama ibunya, Seungcheol ngacak-ngacak rambutnya Jihoon dulu, baru pergi. Mungkin beneran udah nggak tahan pengen nyentuh Jihoon. Risiko punya pacar touchy, emang.

Jihoon agak kesel karena rambutnya yang sebelumnya semi-rapi sekarang jadi beneran berantakan. Di depan ibu pacarnya. Yang masih nggak tahu kalau dia pacar anaknya. Emang pacarnya nggak beradab. Tapi dia nggak bisa bohong, gestur itu berhasil bikin dia sedikit lebih tenang. Dia pelan-pelan ngerapiin lagi rambutnya biar bisa kembali ke keadaan semi-rapi, dan juga untuk nyiapin mentalnya buat pertanyaan apapun yang dilontarin sama ibu pacarnya. Pasti ada alasan khusus kenapa ibunya Seungcheol minta anaknya untuk ninggalin mereka berdua, tapi Jihoon nggak tahu apa.

Di sini Jihoon dikagetin lagi. Sumpah ini satu keluarga misi utamanya ngagetin Jihoon apa gimana, dia nggak ngerti.

“Jihoon, Tante minta maaf ya, anak Tante nggak subtle banget,” ujar ibu Seungcheol tiba-tiba, sebelum ketawa, “Masa tadi waktu kamu cerita soal dia di kampus senyumnya kayak orang kasmaran. Ketahuan banget suka sama kamunya.”

Jihoon melotot kaget. Di sela kekagetannya, dia nyempetin untuk mempelajari ekspresi ibunya Seungcheol. Beliau nunjukin senyum bahagia yang sering dia lihat di muka Seungcheol. Bukan yang lebar banget; yang lembut, tapi masih narik ujung-ujung mata beliau ke atas.

“...oh... nggak apa-apa, Tante. Udah biasa.”

Ibunya Seungcheol ketawa lagi, “Oh gitu? Ampun, itu anak emang nggak bisa bohong. Tante tuh udah curiga kalian sebenernya bukan cuma temen, tapi Tante nggak mau maksain kalian buat ngaku.”

Jihoon masih punya cukup kerendahan hati untuk ngerasa malu karena udah bohong, “Maaf, Tante.”

“Eh, nggak apa-apa! Tante nggak tahu kenapa kalian mutusin untuk nggak jujur dan bilang kalian cuma temen. Tante seneng, Seungcheol udah nemuin orang yang bener-bener dia sayang.”

Jihoon, yang awalnya nunduk karena malu, mendongak waktu dia ngerasain tangan ibunya Seungcheol megang tangan dia di atas meja.

“Jihoon, Tante boleh minta tolong?”

“Minta tolong apa, ya, Tante?”

Ibunya Seungcheol senyum, “Tante nitip Seungcheol, ya? Tante jagain dia dari jauh, Jihoon bantuin Seungmin jagain dari deket. Tante nggak bisa terus-terusan di samping Seungcheol, dan Seungmin juga punya tanggung jawabnya sendiri. Tante boleh minta bantuan Jihoon?”

Jihoon melotot kaget, tapi Jihoon bisa lihat kasih sayang dan semacam desperation di mata ibunya Seungcheol. Dia ngangguk.

“Oke, Tante. Jihoon usahain.”