bingung
part of the compass of my heart au
Pagi ini, Jihoon nggak ada rencana untuk pergi ke kampus. Biasanya dia harus ke kampus untuk ketemu sama klien atau bimbingan. Tapi karena semua kliennya udah selesai dia tangani dan dia nggak ada jadwal bimbingan tesis sampai pengambilan data online-nya selesai, dia nggak perlu ke kampus. Untuk pertama kalinya sejak awal semester baru, Jihoon nggak ada kerjaan.
Tentu saja, dia bisa ngajak Seungcheol untuk jalan, tapi semakin hari Seungcheol semakin jarang ngebales chat Jihoon. Setiap malem Jihoon nge-chat untuk sekedar ngingetin pacarnya makan dan tidur yang cukup tanpa lelah. Berdasarkan semakin jarangnya Seungcheol ngebales chat itu, Jihoon berkesimpulan mungkin Seungcheol lagi sibuk banget.
Jihoon nggak bisa ngebayangin seberat apa beban yang harus Seungcheol pikul. Nggak hanya masalah keluarganya saja yang perlu dia urusin, tapi juga tesisnya. Jihoon hanya bisa bersyukur salah satu beban Seungcheol, yaitu ujian HIMPSI, udah kelar, dan dia nggak perlu revisi laporan ujiannya.
Kalau Jihoon dibilang nggak khawatir, udah pasti itu bohong. Tapi dia udah mutusin untuk percaya sama Seungcheol dan bersabar nungguin dia. Seungcheol udah percaya sama Jihoon waktu dia masih bermasalah sama Chanyeol; sekarang giliran Jihoon yang percaya sama Seungcheol.
Biasanya di hari libur kayak gini Jihoon bakal ngurung dirinya di kamar untuk bikin lagu, tapi alam berkata lain. Lebih tepatnya perutnya. Dia bisa mencium wangi french toast khas papanya yang udah lama banget nggak dia makan dari arah dapur. Seperti yang kepanggil sama wanginya, Jihoon jalan ke arah dapur dan nemuin papanya berdiri di depan kompor.
“Pagi, Pa.”
“Pagi, Hoon. Nggak ke kampus?”
“Nggak ada urusan di kampus jadi hari ini di rumah aja. Besok paling ke kampus, temen-temen jurusan Pendidikan mau ujian HIMPSI.”
“Tumben keluar kamar?”
Jihoon nyengir, “Laper.”
Papanya ketawa, “Biasa deh, keluar kamar cuman buat makan sama ke kamar mandi doang. Untung waktu bikin rumah kamar kamu nggak jadi dibikinin kamar mandi dalem.”
“Waduh, kalau gitu mah Mama nggak akan pernah ketemu sama anak Mama atuh.”
Jihoon ngetawain kata-kata Mamanya, “Pagi, Ma.”
“Pagi, Nak. Kalau kamu hari ini kosong boleh tolong temenin Mama ke apotek?”
“Boleh, Ma. Jam berapa?”
“Abis makan ya? Kamu udah mandi?” waktu Jihoon hanya nyengir, mamanya muter mata, “Ya udah, abis makan, kamu mandi.”
“Makan dulu Ma, Hoon,” panggil papanya.
Jihoon ngambil dua potong french toast ke atas piringnya terus dia duduk di sofa depan TV. Jihoon dan keluarganya memang lebih sering makan pagi di depan TV. Selama Jihoon tinggal di rumah ini, meja makan itu hanya mereka pake untuk makan malam. Selain itu, meja makan di rumahnya berfungsi untuk nyimpen makanan, bumbu dapur, atau jadi saksi bisu waktu Jihoon makan setiap kali dia laper di tengah malem.
Sebelum papanya bergabung sama Jihoon dan mamanya, bel rumah berbunyi. Dahi Jihoon mengernyit karena bingung. Siapa juga yang dateng bertamu pagi-pagi jam 7?
“Sebentar!” Papanya teriak sebelum nyimpen piringnya di meja depan TV dan berlari kecil ke pintu depan. Waktu papanya Jihoon buka pintunya, Jihoon denger, “Eh, Seungcheol? Udah lama nggak ketemu, ya.”
“Hah, siapa?” Jihoon otomatis nanya.
“Pagi, Om. Maaf ya, udah ganggu pagi-pagi.”
Papanya ketawa sambil mendorong bahu Seungcheol pelan untuk ngajak dia masuk rumah, “Nggak apa-apa. Udah sarapan belum? Ada french toast masih banyak.”
Seungcheol dan papanya Jihoon jalan ke arah sofa di mana Jihoon dan mamanya masih duduk. Waktu mata Seungcheol ketemu sama mata Jihoon, mereka senyum sama satu sama lain. Tapi Jihoon bisa lihat, Seungcheol lagi capek banget.
“Pagi, Tante. Ji.”
“Pagi, Nak!” mamanya Jihoon nyimpen piringnya di meja sebelum nerima salam Seungcheol, “Capek, Nak? Kok kayak yang kurang tidur?”
Seungcheol meringis, “Iya, Tante. Udah beberapa hari ini di rumah repot banget, jadi mau tidur juga susah.”
“Kamu nyetir ke sini?” tanya Jihoon.
Seungcheol menggeleng, “Tadi di-drop sama A Seungmin. Aa barusan buru-buru makanya nggak turun. Maaf ya Om, Tante.”
“Nggak apa-apa, kan lagi buru-buru,” jawab papanya Jihoon.
“Kang… tumben pagi-pagi ke sini,” Jihoon membiarkan kalimatnya mengambang. Bukannya Jihoon nggak seneng ketemu sama Seungcheol setelah sekian lama, tapi Jihoon nggak suka sama keadaan yang memaksa mereka untuk nggak berkomunikasi.
“Yah…”
Sebelum Seungcheol bisa ngelanjutin kalimatnya, kata-kata yang muncul di headline berita yang juga lagi dibacain sama presenter di TV menarik perhatian Jihoon.
“Direktur Utama rumah sakit ternama di Kota Bandung terjerat kasus korupsi, suap, dan malpraktik.”
Waktu sosok ayah Seungcheol yang masih membekas di otak Jihoon tiba-tiba muncul di TV dalam keadaan ditahan sama dua orang petugas kepolisian, mata Jihoon membelalak. Jihoon nggak terlalu fokus sama konten beritanya, tapi dari yang dia denger, ada pihak internal rumah sakit yang berhasil mengumpulkan cukup bukti untuk menangkap ayahnya Seungcheol.
“Ya… karena ini, Ji,” jelas Seungcheol singkat.
“Terus? Rumah sakitnya gimana? Ibu kamu? A Seungmin?”
“Satu-satu, Ji,” Seungcheol ketawa lemah, “Rumah sakitnya nggak apa-apa. Kalau Ibu… tuh,” ujar Seungcheol sambil menunjuk ke arah TV, yang lagi menunjukkan ibunya Seungcheol yang lagi berbicara ke awak media.
Waktu Jihoon baca keterangan yang menjelaskan peran ibu Seungcheol di TV, matanya membelalak lagi.
“Yang punya rumah sakit tuh ibu kamu?!”
“Lah, emang aku nggak bilang, ya?”
“Nggak pernah denger!”
“Abis nggak nanya.”
Jihoon menghela nafas tajam, ngambek, “Terserah.”
“Jangan ngambek dong,” Seungcheol ketawa lagi sambil nyubit pipi Jihoon pelan, “A Seungmin sama Ibu dipanggil jadi saksi. A Seungmin harus jemput Ibu di rumah sakit setelah ketemu sama media biar bisa ke kantor polisi, makanya tadi hanya nge-drop aja.”
“Terus? Kok kamu di sini? Aku tahu kamu, Kang. Kamu pasti pengen terus nemenin ibu kamu sama A Seungmin, kan?”
Seungcheol senyum, “Tahu aja deh. Tapi Ibu yang nyuruh aku ke sini, Ji. Katanya aku udah ngejalanin peran aku, sekarang giliran Ibu. Bahkan Ibu bilang kalau boleh, nginep aja dulu, takutnya rumah banyak media.”
“Nginep aja, nggak apa-apa!” mamanya Jihoon nimpalin.
“Santai aja, Cheol. Ibu kamu juga pasti mau kamu istirahat,” tambah papanya Jihoon.
“Jihoon temenin Seungcheol aja ya. Mama ke apoteknya sama Papa aja,” ujar mamanya Jihoon, “Sekarang makan dulu, Nak! French toast buatan Papa enak lho!”
***
Setelah sarapan, mama dan papa Jihoon berangkat ke apotek. Setelah tahu kalau Seungcheol nggak sempet mandi sebelum berangkat ke rumah Jihoon, Jihoon nawarin dia buat mandi duluan. Penawarannya langsung dia tarik waktu Seungcheol ngajakin mandi bareng. Bisa gila.
Setelah Seungcheol beres mandi, Jihoon dan Seungcheol duduk di atas kasur Jihoon, tapi mereka masih diem-dieman. Jihoon merhatiin Seungcheol. Setelah mandi, muka Seungcheol kelihatan sedikit lebih fresh, tapi keletihan masih cukup kentara di mukanya. Jihoon mencoba mengingat-ingat lagi terakhir dia ngelihat Seungcheol. Bahkan waktu Seungcheol begadang untuk belajar sebelum ujian HIMPSI pun dia nggak kelihatan secapek ini. Jihoon mikir, berapa malem Seungcheol nggak tidur?
Jihoon masih bingung harus ngomong apa. Gimana caranya ngehibur orang yang ayahnya baru ditangkep polisi, meskipun kita tahu kalau orang itu emang nggak suka sama ayahnya? Kalau ngelihat Seungcheol, Jihoon yakin perasaan Seungcheol nggak bisa didefinisikan se-simple kebahagiaan karena udah berhasil menghentikan kejahatan orang yang dia nggak sukain atau kesedihan karena mau gimanapun juga, itu ayahnya yang baru ditangkep polisi.
“Kamu udah tidur belum, Kang?”
“Belum, Ji. Semuanya baru beres jam 6 pagi, terus A Seungmin nyeret aku ke mobil.”
“Ya udah, kamu istirahat aja dulu. Besok ke kampus kan?” tanya Jihoon. Setelah Seungcheol mengangguk, Jihoon berasumsi Seungcheol akan langsung tidur. Tapi Seungcheol nggak langsung tiduran, “Kang…” Jihoon mulai pelan-pelan, “Mind sharing what’s on your mind?”
Seungcheol narik nafas dalem-dalem, terus dia keluarin pelan-pelan. Waktu dia ngulangin hal yang sama, Jihoon baru sadar kalau Seungcheol lagi pake teknik relaksasi yang biasa Jihoon pake kalau dia lagi cemas. Oh, jadi gini rasanya kalau Kang Seungcheol ngelihat aku 4-7-8… batinnya. Jihoon nggak yakin dia suka dengan perasaan ini.
“Kalau aku seneng dia udah ketangkep… durhaka nggak ya, Ji?”
Jihoon narik nafas sebelum dia jawab dengan hati-hati, “Jujur, aku nggak bisa nentuin hal itu, Kang. Tapi kalau menurut aku, considering what he did to you and your family, nggak aneh kalau kamu ngerasa seneng atau lega. Bisa dibilang ini pembalasan untuk dia lah, Kang. Menurut kamu, does he deserve it?”
“Yes. Without a doubt,” jawab Seungcheol, seakan nggak perlu pake mikir panjang-panjang, “Waktu aku ngerjain review laporan keuangan yang ditemuin sama A Seungmin, aku pengen muntah, Ji… dia ngabisin lebih dari 5 milyar hanya untuk nyogok banyak pihak biar kasus-kasus malpraktik dia nggak ketahuan. Dan uangnya itu dia ambil dari rumah sakit. Bayangin, Ji. Uang yang harusnya untuk nge-upgrade fasilitas, ngasih tunjangan buat karyawan, itu dia pake buat nutupin kebobrokan dia. Dan itu hanya sebagian kecil dari yang dia lakuin. Monster kayak gitu dibilang dokter?” Seungcheol ketawa kecil, tapi dia sama sekali nggak terdengar senang, “Sinting.”
Mata Jihoon membelalak kaget.
“Tapi jujur… aku bingung harus ngerasain apa, Ji. Mau gimanapun juga dia ayah aku. Dia bukan orang yang 100% jahat ataupun 100% baik. Dia bisa kok baik sama A Seungmin dan keluarganya. Ibu bahkan bisa bertahan nikah sama dia sampe aku umur segini, pasti ada alasannya kan? Waktu aku kecil juga aku nggak bisa bilang dia ayah yang buruk; hanya sibuk. Aku sebenernya penasaran, when did it all go wrong? Kenapa kok dia berubah? Dia nggak kayak ayah yang aku kenal waktu kecil… aku bingung, Ji. Sumpah.”
Jihoon nggak respon dengan kata-kata; dia hanya pegang tangan Seungcheol.
“Menurut aku… kamu bisa ngerasain apapun yang mau kamu rasain, Kang. Nggak ada aturan kalau kamu harus ngerasain A atau B. Mungkin kamu ngerasa sedih juga, karena ya, ini ayah kamu, dan seperti yang kamu bilang, dia bukan orang yang 100% jahat. Itu emang kenyataan. Tapi dia banyak bikin kamu kecewa dan sakit hati. Itu juga kenyataan. Bukan berarti kalau kamu seneng atau lega, terus perasaan lain nggak bisa muncul di diri kamu, kan? Mungkin sekarang perasaan kamu campur aduk. Kalau kamu bingung, oke. Nggak ada aturan yang bilang kalau kamu harus tahu kamu ngerasain apa. Nggak apa-apa, Kang.”
Waktu mata Seungcheol mulai kelihatan berkaca-kaca, Jihoon langsung membuka lebar lengannya, dan Seungcheol menghamburkan dirinya ke dada Jihoon. Lengan Jihoon melingkari bahu Seungcheol dan dia mulai merasakan t-shirt yang dia pakai mulai basah di bagian dadanya. Tapi dia nggak bilang apa-apa; dia hanya mulai menepuk-nepuk punggung Seungcheol dengan satu tangan, sedangkan tangan yang satunya dia pakai untuk mengelus rambut Seungcheol.
Kebanyakan aspek yang Jihoon ketahui tentang hubungan Seungcheol dengan ayahnya adalah aspek negatif. Tapi Jihoon yakin, ayah Seungcheol pernah jadi ayah yang Seungcheol sayangi. Meskipun pada akhirnya Seungcheol banyak merasakan kekecewaan dengan ayahnya, pasti ada aspek positif dari hubungan mereka yang Jihoon nggak ketahui. Sepesimis apapun Jihoon, dia tahu semua hal di dunia ini nggak hanya hitam dan putih.
Jihoon nggak tahu berapa lama Seungcheol nangis. Waktu dia denger suara mobil papanya masuk ke garasi, Seungcheol udah tidur di pelukannya. Jihoon nggak bisa lepas soalnya setiap kali dia mencoba melepaskan diri dari pelukan Seungcheol, cowok yang lebih tinggi itu mulai merengek pelan. Pasrah, Jihoon coba pelan-pelan mengubah posisi mereka supaya kepala Jihoon bisa ada di atas bantal, dan kepala Seungcheol tetep di dada Jihoon. Untungnya dia berhasil ngelepas salah satu tangan Seungcheol yang melingkari badannya supaya dia nggak menindih tangan Seungcheol.
Jihoon akhirnya bisa ngelihat muka Seungcheol. Dia hapus bekas air mata yang ada di ujung mata dan di pipi Seungcheol pelan-pelan dengan jarinya, sebelum dia cium dahi Seunghceol dan dia elus sekali lagi rambut pacarnya.
Jihoon menutup matanya, dan dia membiarkan suara ritmik nafas Seungcheol mengantarkannya ke alam mimpi.